REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah mencari cara untuk memberlakukan sanksi terbaru terhadap Korea Utara (Korut). Salah satunya adalah dengan membekukan aset milik pemimpin negara itu, Kim Jong-un.
Korut kembali memicu kemarahan internasional dengan uji coba bom hidrogen yang dilakukan pada Ahad (3/9) lalu. Negara yang dipimpin Kim Jong-un itu mengklaim melakukan tes terbaru dari alat peledak tersebut yang dirancang untuk ditempatkan dalam Peluru Kendali Balistik Antar Benua (ICBM). Ini disebut sebagai keberhasilan dari tujuan negara itu sejak lama untuk menempatkan hulu ledak nuklir sebagai alat persenjataan mereka.
Negara terisolasi itu menuturkan bahwa tes bom hidrogen tersebut menjadi yang keenam kalinya dilakukan sejak 2006. Korut dapat mengklaim kesuksesan besar, karena kali ini persenjataan nuklir mereka berkembang dan memiliki kemampuan dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB untuk membahas masalah nuklir Korut pada Senin (4/5) lalu, AS sebagai salah satu negara anggota tetap mengatakan tindakan keras diperlukan mengatasi hal ini. Melalui Duta Besar Nikki Haley, pihaknya mendesak sanksi paling kuat harus diberikan dan ia hendak mengedarkan resolusi terbaru untuk memenuhi langkah itu.
Resolusi yang kali ini diajukan oleh AS kali ini menyerukan agar aset dari Kim Jong-un dapat dibekukan secara keseluruhan dan ia akan diberi larangan bepergian. Kemudian, larangan memasok berbagai produk mintak ke Korut, serta membeli ekspor tekstilnya.
Meski demikian, resolusi ini kemungkinan tidak akan didukung oleh dua anggota Dewan Keamanan PBB yaitu Rusia dan Cina. Kedua negara sebelumnya menyatakan sanksi yang lebih keras untuk Korut tidak akan efektif dan menyerukan agar penyelesaian masalah dilakukan melalui perundingan.
Selama ini, Rusia dan Cina juga diketahui sebagai negara pemasok minyak ke Korut. Salah satu kekhawatiran mengapa kedua pihak tidak menginginkan sanksi keras terhadap negara di Asia Timur itu adalah kemungkinan besar langkah tersebut justru berdampak kepada warga sipil.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menilai bahwa mengurangi pasokan minyak ke Korut hanya akan memperburuk kondisi warga sipil di negara itu. Ia mencontohkan bagaimana banyak orang di sana yang bergantung pada sumber daya tersebut dan pada akhirnya menderita karena suatu hal yang bukanlah kesalahan mereka.
Demikian dengan Cina yang berpendapat bahwa tindakan keras untuk menghadapi Korut hanya akan memicu kekacauan lebih besar. Negeri Tirai Bambu menegaskan bahwa tidak akan membiarkan adanya perang di Semenanjung Korea.
Selama ini, Korut mengatakan pengembangan program nuklir merupakan alat pertahanan utama. Namun, sejumlah negara di kawasan Semenanjung Korea khususnya Korea Selatan (Korsel) dan Jepang terus merasa khawatir karena menjadi ancaman utama serangan rudal dan senjata berbahaya lainnya.
Dalam dua bulan terakhir, Korut telah melakukan serangkaian uji coba ICBM yang diklaim sukses. Dimulai pada 4 Juli lalu, di mana saat itu rudal yang dikenal dengan nama Hwasong-14 tersebut juga dikatakan mampu membawa hulu ledak nuklir besar dan menjangkau daratan AS, khususnya wilayah Alaska.
Kemudian, dalam uji coba selanjutnya yang juga membuat kehebohan dunia terjadi pada 28 Juli lalu. Uji coba Hwasong-14 dilakukan dan diyakini memiliki jangkauan dan kekuatan lebih tinggi. Rudal itu mencapai ketinggian 2314,6 dan terbang sejauh 620 mil hingga akhirnya mendarat di perairan pantai timur Semenanjung Korea.
Pada 28 Agustus, uji coba rudal yang dianggap jauh lebih serius dan membahayakan juga dilakukanKorut. Saat itu, senjata ini menempuh jarak hingga 2700 kilometer dan melewati wilayah udara di atas Hokkaido, Jepang.
Bom hidrogen yang diuji coba oleh Korut saat ini diketahui sangat berbahaya dibandingkan dengan bom atom atau alat ledak serta jenis lainnya dari senjata nuklir. Benda ini memiliki perbedaan dengan bom atom, yang selama ini dikenal sebagai salah satu senjata paling mematikan di dunia dan dijatuhkan pertama kali saat Perang Dunia II di Hiroshima dan Nagasaki.
Bom yang juga dikenal dengan sebutan bom termonuklir serta bom H itu menggunakan tahap kedua reaksi. Apa yang dimaksud dengan hal ini adalah dapat memperbesar kekuatan ledakan atom.
Atas tindakan provokatif yang dilakukan Korut, Dewan Keamanan PBB telah memberikan sanksi terhadap negara itu yang pertama kali dilakukan pada 2006. Kemudian, dewan juga mengeluarkan sebuah resolusi untuk memberlakukan sanksi ekonomi terbaru pada 5 Agustus lalu. Dengan sanksi ini, pendapatan ekpor yang dimiliki negara terisolasi itu dapat berkurang hingga 3 miliar dolar AS.
Resolusi yang dirancang oleh AS, sebagai salah satu anggota tetap dewan itu membuat tidak diizinkannya ekspor sejumlah barang tambang diantaranya batu bara, besi, dan bijih besi. Kemudian, makanan laut juga tidak diperbolehkan untuk diekspor dari Korut. Selain itu, jumlah pekerja dari negara yang dipimpin Kim Jong-un itu yang bekerja di luar negeri juga tidak dapat diperbanyak.
Meski resolusi terbaru PBB itu telah ditetapkan, Korut saat itu menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengembangkan program nuklir. Negara ini juga mengatakan bahwa tidak khawatir dengan adanya alat pencegah senjata nuklir yang dimiliki AS dan bertujuan mengancam mereka.