REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Korea Utara (Korut) telah menyatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepadanya tak akan menghentikan proyek rudal dan nuklir yang sedang dikembangkannya. Sebaliknya, sanksi, kata Korut, justru akan mendorongnya untuk merampungkan proyek rudal dan nuklirnya.
"Langkah yang meningkat dari Amerika Serikat (AS) dan pasukan bawahannya untuk menjatuhkan sanksi dan tekanan kepada Korut hanya akan mempercepat langkah kita menuju penyelesaian paling akhir kekuatan nuklir negara", kata Kementerian Luar Negeri Korut dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan Korean Central News Agency (KCNA), seperti dikutip laman BBC, Selasa (19/9).
Menurut Kementerian Luar Negeri Korut, sanksi terbaru PBB yang disetujui pada 11 September lalu merupakan tindakan permusuhan yang paling kejam, tidak etis, dan tidak berperikemanusiaan. Sanksi terbaru PBB adalah untuk membasmi secara fisik orang-orang, sistem, dan pemerintahan negara ini, katanya.
Sanksi terbaru PBB untuk Korut memang kian mengisolasi negara tersebut. Adapun sanksi terbaru ini mencakup, pembatasan impor minyak untuk Korut, pelarangan ekspor tekstil, dan penghentian kerja sama dengan setiap pekerja asal Korut yang berada di luar negeri.
Pada sanksi sebelumnya, Korut juga telah dilarang untuk mengekspor batu bara, bijih besi, besi, serta hasil laut mereka. Rentetan sanksi ini akan menyebabkan Korut kehilangan pendapatan miliaran dolar AS.
Terkait hal ini, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping telah membahas tentang sikap kedua negara terhadap Korut melalui sebuah panggilan telepon pada Senin (18/9). Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping berkomitmen untuk memaksimalkan tekanan kepada Korut melalui penegakan kuat resolusi terbaru Dewan Keamanan PBB, kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan.