REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Bushra Zainuddin ingin menjadi bagian dari warga negara Australia. Suaminya, Zain Zafar, sebelumnya sudah menjadi warga Australia. Begitu juga bayi mereka, Zameer.
Namun pekerja di bidang perangkat lunak kelahiran Pakistan ini baru mengajukan permohonan menjadi warga negara Australia pada 20 April tahun ini. Persis pada hari yang sama ketika Pemerintah Federal mengumumkan rencana perubahan UU Kewarganegaraan yang memicu banyak perdebatan.
Pemerintah saat ini dari Partai Koalisi Liberal dan Nasional menginginkan calon warga negara Australia mengikuti tes Bahasa Inggris yang lebih ketat. Selain itu, harus menunggu paling tidak empat tahun setelah menjadi permanent resident sebelum boleh mengajukan permohonan kewarganegaraan.
Menteri Imigrasi Peter Dutton mengemukakan Pemerintah Koalisi berusaha melestarikan nilai-nilai Australia melalui proses permohonan tersebut dan memastikan kewarganegaraan dihargai oleh pendatang baru. Tapi menurut Bushra, baginya hal itu hanya akan berarti menunggu sangat lama.
"Saya baru saja melahirkan. Bayi saya orang Australia. Kami pikir kami akan menjadi keluarga besar warga negara Australia. Saya satu-satunya yang tersisa," katanya.
Dia seharusnya tidak perlu menunggu terlalu lama lagi sekarang, setelah Partai Buruh, Partai Hijau dan Tim Nick Xenophon secara efektif menolak RUU perubahan kewarganegaraan itu di Senat pada Rabu malam (18/10).
Ketiga parpol tersebut menggunakan jumlah mereka di Senat untuk memberlakukan tenggat waktu mengenai UU tersebut dan menolak permintaan terakhir dari Menteri Dutton untuk membuat kesepakatan. Sekarang RUU tersebut telah dikeluarkan dari jadwal resmi Senat Australia.
Menteri Dutton mengindikasikan Pemerintah akan terus melakukan negosiasi dengan senator lintas partai. Namun untuk sementara ini semua permohonan kewarganegaraan yang diajukan setelah 20 April 2017 akan diproses berdasarkan UU yang ada.
Bagi Bushra, hal ini sangat melegakan. "Sekarang saya senang kemungkinan besar akhir tahun ini atau sekitar tahun depan saya akan memiliki paspor (Australia)," katanya.
"Tentu saja saya akan selalu menjadi imigran. Namun jika saya mendapatkan kewarganegaraan dan paspor maka saya akan merasa ya, saya benar-benar setia, karena saya anggota masyarakat ini. Saya jadi bagian," katanya.
Suaminya masih merasa terpukul. Zain Zafar mengatakan perubahan itu tidak masuk akal dan perubahan waktu untuk mengajukan permohonan itu sewenang-wenang.
"Dengan menetapkan waktu tanpa dasar dan memutuskan siapa saja yang mengajukan permohonan setelah 20 April akan dikenai peraturan baru, saya kira hal itu tidak adil," katanya.
"RUU tersebut sebenarnya belum menjadi UU, tapi setiap kali kami menghubungi Departemen Imigrasi, mereka datang ... dan mengatakan permohonan kami kena peraturan baru," ujarnya.
"Saya berpikir bahkan belum jadi aturan hukum, jadi saya tidak yakin mengapa mereka melakukan hal itu. Saya tidak yakin itu legal," kata Zain.
Memecah-belah
Anggota parlemen Partai Buruh (ALP) yang mendorong partainya untuk menentang RUU tersebut mengatakan perubahan yang direncanakan menimbulkan kekhawatiran dan kemarahan besar bagi komunitas imigran. Senator Partai Hijau Nick McKim mengatakan RUU tersebut "memecah-belah dan penuh kebencian" dan menuntut Partai Koalisi melupakan RUU tersebut.
"Peter Dutton mencoba menghancurkan Australia yang multikultural dan membangunnya kembali menurut citra kebenciannya sendiri," kata Senator McKim.
Anggota parlemen dari Partai Koalisi membantah keras tuduhan tersebut. "Ini bukan masalah entang ras. Ini masalah memastikan orang berbahasa Inggris dan punya rasa memiliki," kata seorang anggota Partai Liberal, yang meminta tidak disebutkan namanya.
Tapi dia mengakui masalah ini telah mengganggu posisi Pemerintah di beberapa dapil pinggiran kota yang memiliki komunitas imigran besar, terutama di sekitar Melbourne dan Sydney. "Saya kira tidak akan ada lagi keinginan besar mencoba untuk menghidupkan kembali hal ini," katanya.
"Hal itu merugikan kami kita karena sangat mudah untuk disalahpahami," tambahnya.
Sementara bagi Bushra, dia mengerti mengapa Pemerintah tidak ingin kewarganegaraan menjadi sesuatu yang dipandang mudah. "Mereka ingin memastikan siapa pun yang menjadi warga negara adalah yang paling sesuai untuk masyarakat," katanya.
"Namun masa menunggunya sudah tahunan. Jika mereka memperpanjangnya, saya rasa hal itu tidak adil bagi orang yang sudah bekerja di sini, yang sudah terintegrasi. Mereka seharusnya tidak mempersulit," kata Bushra.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.