Rabu 25 Oct 2017 11:48 WIB

Susahnya Cari Rumah Bagi Perempuan Paruh Baya Australia

Pip Rose menghadapi kondisi tunawisma karena tak ada akomodasi terjangkau yang membolehkan hewan peliharaan.
Foto: ABC
Pip Rose menghadapi kondisi tunawisma karena tak ada akomodasi terjangkau yang membolehkan hewan peliharaan.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pip Rose tak bisa bertahan hidup satu hari-pun tanpa anjing kecil dan pendamping setianya, Harvey, namun mengakomodasi hewan kesayangannya itu di tempat tinggal sewaan yang terjangkau di Canberra, Australia ternyata sangat sulit.

Awal tahun ini, Pip menjadi pengangguran dan kewalahan menghadapi uang sewa dan pembayaran utang. Tapi ceritanya ternyata bukanlah hal yang tak lazim.

Dalam sebuah lokakarya berbasis solusi di Canberra, Andrea Sharam mengatakan Pip adalah bagian dari "tsunami" perempuan setengah baya yang menghadapi stres karena mencari tempat tinggal dan tunawisma, hal yang ‘seharusnya telah diperkirakan’ oleh pemerintah Australia.

Ia mengatakan, solusi nyata, seperti membangun perumahan untuk perempuan paruh baya -dalam skema yang serupa dengan Perumahan Pertahanan -atau mengubah blok kantor tua menjadi akomodasi sementara adalah beberapa tindakan cepat yang bisa dilakukan pemerintah Australia. 

"Ini adalah titik terendah saya karena saya tahu saya tak punya uang. Saya harus mengakui ini adalah kondisi yang menakutkan," ujar Pip.

"Serius saja, di mana saya bisa menyewa tempat di pasar swasta? Karena tak ada yang mau menyewakan saya tempat tinggal tanpa pekerjaan, itulah kenyataannya."

Perempuan berusia 53 tahun itu hampir tidur di mobilnya dalam banyak kesempatan, karena sebagian besar penyewaan swasta tak menerima hewan peliharaan, sesuatu yang baru-baru ini berubah dalam undang-undang sewa properti di Victoria.

"Harvey adalah satu-satunya yang membawa saya keluar rumah saat berada di titik hidup yang sangat rendah. Jadi, tadinya saya akan memasukkan barang-barang ke gudang sewaan dan tidur di mobil bersama anjing dan kucing saya," ujarnya.

Gereja Pip dan saudara laki-lakinya akhirnya datang untuk menyelamatkannya dengan membayar utangnya dan mencarikannya tempat tinggal.

"Saya tak pernah menduga hal itu ... itu membuat saya terharu. Anda tak boleh meminta bantuan, begitulah saya diajarkan. Begitulah para perempuan di generasi saya - Anda hanya menarik napas dalam-dalam dan menghadapinya," katanya.

Sejak saat itu, Pip telah mendapatkan pekerjaan, namun masa sewa dari unit tempat tinggal kecilnya akan berakhir pada Februari. Dan menemukan tempat lain untuk tinggal terbukti menantang.

"Itu masalah terbesar kami, menemukan perumahan yang terjangkau," katanya.

"Kami butuh tempat agar kami bisa aman dan menjadi bagian dari masyarakat."

Penny Leemhuis berjuang mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau selama 12 tahun.
Penny Leemhuis berjuang mendapatkan tempat tinggal yang terjangkau selama 12 tahun.

ABC News: Simon Beardsell

Tidur di jalanan dan rumah orang

Penny Leemhuis melawan akomodasi yang tidak aman di negara bagian Victoria, Wilayah Ibu Kota Australia (ACT) dan New South Wales (NSW) sebelum menemukan sewa yang terjangkau di Queanbeyan, NSW. Perjuangan mencari tempat tinggal selama 12 tahun mendorongnya menjadi advokat bagi perempuan lajang berusia 45 tahun ke atas yang mengandalkan akomodasi persewaan pribadi hingga masa pensiun.

"Jika kami tak mengatasi situasi ini sekarang, tak hanya jumlah perempuan akan meningkat, ini akan memengaruhi setiap generasi mendatang dalam beberapa dekade ke depan dan perlu dihentikan sekarang," kata Leemhuis.

Baru-baru ini, ia membagikan pengalamannya sebagai bagian dari sebuah film dokumenter baru, OWL: The Face of Homelessness (Wajah Tunawisma), oleh mahasiswa Melbourne, Tashi Choden.

"Ada kesalahpahaman besar di antara masyarakat umum tentang tunawisma dan apa yang sebenarnya terjadi," kata Leemhuis. "Itu termasuk tidur di jalanan, dan menumpang dari satu tempat ke tempat lain dan itu adalah cara hidup yang tidak aman."

Leemhuis mengatakan bahwa ada solusi untuk mengatasi masalah seputar tunawisma yang tidak dilaksanakan. "Pengalaman saya telah mengajarkan kepada saya bahwa hidup, dalam beberapa hal, adalah sebuah perjuangan dan itu sangat menyedihkan karena itu tak harus demikian," jelasnya.

Hasil perubahan sosial yang seharusnya diperkirakan

Leemhuis dan Pip termasuk di antara perempuan yang akhirnya bertemu dengan sejumlah layanan pendukung, akademisi dan politisi di sebuah lokakarya berbasis solusi di Canberra, pekan lalu.

Pada akhir pertemuan, beberapa solusi diajukan, termasuk menciptakan skema penyewaan sosial nasional -serupa dengan Perumahan Pertahanan, mengubah blok kantor kosong menjadi perumahan sosial, menempatkan unit-unit yang bisa dipindahkan di lahan kosong dan mereformasi undang-undang penyewaan yang memungkinkan masuknya hewan peliharaan.

"Kita memiliki masalah buatan manusia dan kita bisa mengatasi masalah itu jika kita mau," kata Dr Sharam.

Ia mengatakan bahwa perempuan paruh baya membutuhkan bantuan perumahan sosial untuk pensiun dan ia berharap agar pemerintah perlu mengalokasikan kembali perumahan terjangkau yang telah ada.

"Kami mengalami tsunami untuk perempuan lanjut usia," katanya. "Ini adalah hasil dari perubahan sosial yang seharusnya bisa kami perkirakan.”

"Pemerintah kami di Australia sangat lamban bereaksi terhadap penurunan keterjangkauan perumahan, penurunan kepemilikan rumah dan kebutuhan akan bantuan perumahan."

Asisten Menteri untuk Pelayanan Sosial Australia, Zed Seselja, mengatakan, ada dana yang tersedia -yakni sebesar 375 juta dolar AS (atau setara Rp 3,75 triliun) selama periode empat tahun -dan sejumlah negara bagian dan wilayah seharusnya bernegosiasi dengan pemerintah untuk mendapatkan bagian dalam pendanaan.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/sosok/susahnya-cari-tempat-tinggal-terjangkau-bagi-perempuan-paruh-ba/9077876
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement