REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Tiga pekerja asal Tonga meninggal dunia dan pekerja lainnya dipaksa hidup dan bekerja keras dalam kondisi menyedihkan melalui program yang didukung Pemerintah Australia.
Hal ini terungkap dalam penyelidikan parlemen atas beberapa perusahaan penyedia tenaga kerja. Beberapa di antara perusahaan itu mengeruk keuntungan hampir 1 juta dolar AS setiap bulan dari pekerja ilegal asal Malaysia.
Dalam penyelidikan parlemen yang diadakan di Mildura, terungkap pula adanya penyalur di Sunraysia Victoria dan di Bowen Queensland yang menempatkan 15 pekerja di kamar-kamar jorok dan meminta bayaran per orang sampai 100 dolar AS per minggu.
Perusahaan penyalur itu bebas melakukan eksploitasi nyata karena petugas ketenagakerjaan dan imigrasi tidak memperhatikan hal ini. Penyelidikan parlemen ini bertujuan menyusun Undang-Undang Perbudakan Modern.
Pengacara di Melbourne Raj Thanarajah, yang menghubungkan seorang jurnalis Malaysia dengan ABC dan Fairfax untuk liputan mengenai pemetik buah asal Malaysia, menjelaskan bagaimana mereka mengeruk uang pekerja. Dia mengatakan bahwa isu-isu yang diangkat dalam laporan tersebut masih terus dilakukan penyalur tenaga kerja tidak bermoral yang menghasilkan jutaan dolar.
"Jika penyalur memiliki 800 pekerja, dan skema empat dolar AS per jam, mereka menghasilkan 25.600 dolar AS per hari. Setiap bulan mereka menghasilkan 768.000 dolar AS," kata Thanarajah.
Falepaini Maile, seorang guru di Sydney yang peduli masalah Tonga, menangis saat memberikan kesaksian dalam penyelidikan parlemen. Maile menceritakan kondisi mengenaskan orang-orang asal negaranya tersebut yang bekerja di daerah Bowen, Tully, Mundubbera dan Childers di Queensland.
Maile menceritakan bagaimana dia membantu mengemasi barang-barang milik seorang warga Tonga, Paulo Kivalu (40 tahun), yang meninggal di Bowen tahun lalu. Dia merupakan satu dari tiga orang yang menurutnya meninggal karena kerja paksa, kekurangan makanan dan perawatan medis dalam 12 bulan terakhir.
"Yang paling menyedihkan saat polisi, saya dan orang lainnya mendatangi ke tempat tinggalnya," ujar Maile.
"Dia memiliki wadah plastik untuk semua barangnya dan kami menemukan beberapa mie Maggi," katanya.
Maile mengatakan penyalur tenaga kerja tersebut tidak membayar upah pria itu selama dua tahun, membuat istri dan kedua anak gadisnya di Tonga hidup tanpa apa-apa.
Kontainer tanpa ventilasi
Dia menjelaskan surat keterangan dana pensiuan pria tersebut menunjukkan dia hanya memiliki 1.360 dolar AS. Dalam penyelidikan parlemen Maile menjelaskan pembayaran baru dilakukan oleh perusahaan tenaga kerja pada hari meninggalnya Kivalu.
Maile mengatakan telah berbicara dengan pekerja Tonga yang tinggal di dalam kontainer barang tanpa ventilasi dan karavan sempit di daerah Childers dan Bowen di Queensland. "Pasokan air hanya satu keran dan air berwarna hijau berlendir," kata Maile.
"Pada malam hari ketika para wanita ingin ke kamar mandi, mereka pergi bersama, tidak aman," katanya.
"Mereka kedinginan, airnya bocor, dan mereka harus bangun jam empat untuk mulai bekerja," jelasnya.
Dia mengatakan para pekerja tersebut memasak di halaman. "Terlintas dalam pikiranku, bahwa Australia adalah negara maju di dunia. Dimana kita menemukan akomodasi seperti itu?"
Permintaan maaf
Emma Germano, yang mewakili industri hortikultura di Victorian Farmers Federation, meminta maaf kepada pekerja atas nama petani dan mendesak adanya perubahan. Dia menjelaskan industri hortikultura Australia membutuhkan 70.000 pekerja per tahun. Namun menurutnya dengan hanya satu contoh buruk tidak akan memperbaiki keadaan.
Germano mengatakan secara pribadi telah berhenti menggunakan penyalur tenaga kerja beberapa tahun lalu setelah menyadari para pekerja itu dieksploitasi dan dibayar murah. Dalam sebuah forum yang digelar badan amal Salvation Army, dia menyampaikan insiden seorang pekerja wanita Thailand yang terluka di kakinya akibat kena parang secara tidak sengaja.
"Kami tentu saja memberi tahu penyalurnya dan ingin memanggil ambulans. Tapi kami diminta tidak memanggil ambulans," kata Germano.
Dia mengatakan korban justru tidak ingin mempermasalahkannya karena takut dideportasi. "Dia dibawa ke RS, ditinggalkan di pintu masuk dan harus menanggung utang 3.000 dolar AS untuk biaya operasi yang meragukan. Dan kami jadi bagian dari sistem ini," kata Germano.
Dia mengatakan para petani membutuhkan bayaran lebih baik untuk produk mereka dari supermarket tapi Pemerintah Australia juga perlu menindaki perilaku kriminal tersebut. "Bagaimana kita mengatakan kepada Pemerintah Australia bahwa merekalah penyalur tenaga kerja?" katanya.
"Pemerintahlah yang memberikan kami hal ini. Pemerintahlah yang membagi tiketnya, mengumpulkan pajaknya," katanya.
"Jujur saja, atas nama industri pertanian Australia, saya ingin meminta maaf atas nama petani, yang tak memikirkan hal yang lebih buruk daripada memanfaatkan orang lain. Mereka tak menginginkan apapun selain membagi kekayaan yang mereka hasilkan di pertanian mereka," jelasnya.
Penyelidikan parlemen atas Modern Slavery Act in Australia ini akan menyampaikan hasil temuannya pada Desember mendatang, dan diharapkan Jaksa Agung akan mengajukannya pada tahun 2018.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.