REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Memanjat bukit batu (atau formasi batu besar) Uluru di wilayah Alice Springs, Utara Australia (NT) akan menjadi sejarah setelah dewan Taman Nasional Uluru-Kata Tjuta memutuskan dengan suara bulat melarang kegiatan tersebut, yang dimulai pada tahun 2019.
Dewan, yang terdiri dari delapan pemilik tanah tradisional dan tiga perwakilan dari Taman Nasional, itu membuat keputusan tersebut setelah berkonsultasi dengan komunitas Anangu, yang disebut sangat mendukung pelarangan pendakian.
Berbicara di Uluru ketika pengumuman tersebut berlangsung, pemilik lahan tradisional senior dan ketua dewan taman nasional, Sammy Wilson, mengatakan bahwa situs tersebut memiliki makna budaya yang dalam dan bukanlah sebuah "taman hiburan".
"Beberapa orang di bidang pariwisata dan pemerintahan misalnya mungkin telah mengatakan bahwa kami perlu untuk tetap membukanya tapi bukan hukum mereka yang berlaku di tanah ini," ujar Wilson.
"Ini adalah tempat yang sangat penting, bukan taman bermain atau taman hiburan seperti Disneyland.”
"Pemerintah perlu menghormati apa yang kami katakan tentang budaya kami dengan cara yang sama mereka mengharapkan kami untuk mematuhi undang-undang mereka.”
"Setelah banyak diskusi, kami sudah memutuskan waktunya."
Larangan tersebut akan dimulai pada 26 Oktober 2019 bertepatan dengan ulang tahun ke-34 kembalinya Uluru ke pemilik tanah tradisional. Para pemilik tanah tradisional telah meminta pengunjung untuk tidak mendaki Uluru sejak pengembalian situs ini di 1985, dan penanda yang meminta pengunjung mempertimbangkan kembali pendakian telah dipasang di lokasi sejak 1992.
Keseluruhan Uluru adalah area sakral dan tempat di mana pendakian dimulai juga merupakan daerah sakral.
Boleh tidaknya pengunjung untuk mendaki Uluru telah lama menjadi topik perdebatan, dengan sejumlah insiden kontroversial - termasuk seorang perempuan yang "menelanjangi diri" di puncak Uluru -memicu kembali diskusi di tahun-tahun sebelumnya.
Dewan tersebut mengatakan bahwa pendakian itu juga telah menewaskan 36 orang sejak pencatatan dimulai pada tahun 1950an, dengan kematian terakhir tercatat di tahun 2010.
Menutup pendakian dianggap tepat
Rencana pengelolaan taman terbaru menggambarkan tiga kriteria yang menurut dewan perlu dipertimbangkan sebelum menutup pendakian untuk selamanya. Mereka adalah, pengalaman untuk pengunjung baru berhasil direncanakan; pengalaman budaya dan alam yang ditawarkan menjadi alasan mengapa wisatawan mengunjungi taman tersebut; dan terakhir bahwa jumlah pengunjung pendakian Uluru turun di bawah 20 persen.
Wilson mengatakan, data yang dikumpulkan pada tahun 2015 itu menunjukkan bahwa di saat taman nasional itu terbuka untuk umum dan data dikumpulkan, 16,2 persen pengunjung mendaki Uluru.
Pada tahun 2010, ketika dewan mengumumkan niatnya untuk menutup pendakian, jumlahnya 38 persen, dan pada 1990-an, jumlahnya mencapai 74 persen.
Dalam pidatonya, Wilson meminta dukungan dari masyarakat dan semua tingkat pemerintahan untuk menutup pendakian. "Selama bertahun-tahun, komunitas Anangu merasakan intimidasi, seolah ada yang memegang pistol ke kepala kami agar tetap membukanya," ujar Wilson.
"Tolong jangan menahan kami untuk mendapatkan tebusan.”
"Keputusan ini (dibuat) agar komunitas Anangu dan Non-Anangu merasa bangga bersama-sama, untuk menyadari, bahwa tentu saja hal yang benar untuk menutup 'taman bermain' itu.”
"Menutup pendakian bukanlah sesuatu yang membuat kita merasa kesal tapi menjadi alasan untuk merayakannya."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.