REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA -- Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez Parilla menggelar pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Korea Utara (Korut) Ri Yong-hodi Havana, Rabu (22/11). Keduanya membahas sejumlah isu, termasuk tentang ketegangan di Semenanjung Korea.
Berdasarkan keterangan yang dirilis Kementerian Luar Negeri Kuba, dalam pertemuan tersebut Parilla dan Ri Yong-ho sepakat untuk menolak tuntutan sepihak dan sewenang-wenang yang diajukan Amerika Serikat (AS), termasuk terkait situasi di Semenanjung Korea.
"Mereka menolak keras daftar tuntutan sepihak dan sewenang-wenang Pemerintah AS yang bertentangan dengan hukum internasional," kata Kementerian Luar Negeri Kuba dalam keterangannya.
Kedua menteri meminta adanya penghormatan terhdap kedaulatan rakyat dan penyelesaian sengketa secara damai. Beberapa diplomat memang telah menyebut Kuba adalah satu dari sedikit negara yang mungkin mampu meyakinkan Korut agar menghindari pertikaian dengan AS yang berpotensi memicu perang di Semenanjung Korea.
Selain perihal ketegangan di Semenanjung Korea, Parilla dan RiYong-ho juga membahas tentang pembangunan sosialisme. "Para menteri berharap masing-masing yang dilakukan untuk pembangunan sosialisme sesuai dengan realitas yang melekat pada negara masing-masing," kata Kementerian Luar Negeri Kuba.
Korut dan Kuba adalah dua negara Komunis yang saat ini dinilai masih mempertahankan gaya perekonomian era Uni Soviet. Walaupun saat ini, dibawah Presiden Raul Castro, Kuba mulai mengambil beberapa langkah kecil guna menapaki jejak Cina sebagai negara komunis yang berorientasi pasar.
Kendati saat ini Korut dianggap sebagai negara paling terisolasidi dunia, namun Kuba masih mempertahankan keberadaan kedutaan besarnya di sana.Namun, secara umum, Kuba juga memiliki hubungan cukup dekat dengan tetanggasekaligus seteru Korut di Semenanjung Korea, yakni Korea Selatan (Korsel).
Tahun lalu, transaksi perdagangan antara Kuba dan Korsel mencapai angka 67 juta dolar AS. Sedangkan transaksi perdagangan Kuba dengan Korut tahunlalu hanya sekitar 9 juta dolar AS.
Neraca perdagangan Korut memang mengalami penyusutan sejak dijatuhkan beruntun oleh Dewan Keamanan PBB. Awal pekan ini AS baru saja memasukkan Korut ke dalam daftar negara pendukung terorisme.
Keputusan tersebut diambil agar AS dapat menjatuhkan sanksi baru kepada Pyongyang. Hal ini pun direalisasikan dengan menghukum 13 organisasi asal Cina yang diketahui masih menjalin perdagangan dengan Korut.