REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Rancangan Undang-Undang euthanasia (hak untuk meninggal tanpa rasa sakit, biasanya lewat suntik matik) secara sukarela yang bersejarah akhirnya lolos di Senat Victoria, Australia, setelah melalui maraton sidang selama 28 jam. Keputusan ini menempatkan Victoria sebagai wilayah pertama di Australia yang melegalkan kematian dengan bantuan akibat sakit parah.
Lewat akhir perdebatan yang dramatis selama berhari-hari, rancangan undang-undang (RUU) kematian secara sukarela yang diajukan oleh Pemerintahan Daniel Andrews akhirnya lolos -dengan amandemen -dengan hasil akhir 22-18 dari 40 suara anggota Senat Victoria.
Proses itu mencerminkan suara hati semua anggota Parlemen. Sebelas anggota Parlemen pemerintah mendukung RUU tersebut, seperti juga empat anggota Partai Liberal, lima anggota Partai Hijau, Fiona Patten dari Partai Reason serta anggota Parlemen dari Partai Local Jobs, James Purcell.
Karena amandemen RUU tersebut disetujui maka sekarang aturan itu harus dikembalikan ke DPR Victoria untuk diratifikasi sebelum menjadi undang-undang.
RUU tersebut disahkan di DPR negara bagian Victoria bulan lalu, dengan 47 anggota Parlemen menyetujui diberlakukannya euthanasia sukarela dibanding 37 anggota yang menolak.
Perundang-undangan tersebut mensyaratkan sejumlah perubahan agar bisa lolos di Senat, termasuk ketentuan mengurangi separuh kerangka waktu bagi pasien yang memenuhi syarat untuk mengakses skema tersebut dari, yang tadinya, 12 bulan terakhir perkiraan masa hidup menjadi enam bulan saja.
Akan ada pengecualian bagi penderita sejumlah kondisi seperti penyakit syaraf motorik dan sklerosis ganda [ penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat, terutama otak, saraf tulang belakang, dan saraf mata ] yang berhak mengakses skema ini dalam 12 bulan terakhir dari perkiraan masa hidup mereka.
Setelah lolos, undang-undang baru itu akan memberi pasien -yang menderita rasa sakit tak tertahankan -sebuah hak untuk memilih kematian yang dibantu dokter mulai tahun 2019."
Menteri Utama Victoria, Daniel Andrews mengatakan undang-undang tersebut akan memberi martabat kepada orang-orang yang sakit parah di penghujung hidup mereka.
"Hari ini semuanya tentang emosi, dan ini semua tentang belas kasih," ujar Andrews.
"Ini tentang menyediakan kontrol, kekuatan di akhir perjalanan bagi mereka yang sudah lama mendapat penolakan atas kematian yang mereka inginkan.”
"Ini tentang memberi mereka kontrol itu."
Penentang dituduh ingin gagalkan penetapan
Meskipun ada kekhawatiran tentang kesehatan anggota Parlemen dan staf yang terus bekerja di luar jam resmi, Parlemen akhirnya bersidang pada Selasa (21/11/2017) malam dan berlanjut sampai Rabu (22/11/2017) hingga pemungutan suara pada pukul 16:10 waktu setempat.
Debat terus berlanjut dengan pihak penentang yang menanyai puluhan dari 141 pasal.
Para pendukung RUU tersebut menuduh para pengkritik berusaha menggagalkan penetapan aturan itu.
Ada kebuntuan tentang apakah sidang Parlemen ditunda untuk mengizinkan anggota Parlemen beristirahat, namun para pendukung RUU tak bersedia melakukannya karena mereka menginginkan agar undang-undang tersebut diloloskan.
Hasil pemungutan suara terakhir muncul setelah debat yang berlangsung lebih dari 24 jam di Senat pekan lalu. Saat itu, satu anggota Parlemen yang menentang undang-undang tersebut menggunakan istilah "Nazi" di sidang tersebut.
Perdebatan itu sempat ditunda saat anggota Parlemen dari Partai Buruh -Daniel Mulino -ambruk dan dibawa pergi dengan sebuah ambulans.
Pemimpin pemerintah di Senat, Gavin Jennings, telah menuduh lawan mencoba mengeluarkan perdebatan yang "jauh melampaui persyaratan argumen yang masuk akal" untuk mencoba menunda lolosnya RUU itu di Parlemen.
Jennings dan rekan sesama Menteri, Jaala Pulford, juga mengecam beberapa pertanyaan sepanjang Rabu (22/11/2017) malam sebagai hal yang diulang-ulang.
Lawan menggunakan perdebatan panjang untuk menantang berbagai elemen undang-undang, termasuk akses terhadap obat dan jenis obat apa yang akan digunakan untuk dosis mematikan itu -sesuatu yang belum diumumkan oleh Pemerintah.
Di bawah undang-undang tersebut, warga Victoria yang sakit parah akan bisa memperoleh obat-obatan mematikan dalam waktu 10 hari setelah mereka meminta untuk meninggal, menyusul proses pengajuan permintaan tiga tahap yang melibatkan dua penilaian medis independen.
Mereka harus berusia di atas 18 tahun, memiliki pikiran yang sehat, telah tinggal di negara bagian Victoria setidaknya selama 12 bulan dan menderita penyakit yang "tak bisa diobati dengan cara yang bisa ditolerir pasien".
Pasien harus mengonsumsi obat itu sendiri, namun dokter bisa memberikan dosis mematikan itu dalam kasus yang jarang terjadi yakni ketika pasien secara fisik tak bisa mengakhiri hidup mereka sendiri.
Undang-undang tersebut mencakup 68 "perlindungan", termasuk tindak pidana baru demi melindungi orang-orang yang rentan dari penyalahgunaan dan pemaksaan, dan dewan khusus untuk meninjau semua kasus.
RUU itu beserta amandemennya dikembalikan ke DPR Victoria pekan depan.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.