Jumat 01 Dec 2017 21:03 WIB

Paus Meminta Maaf kepada Rohingya

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Elba Damhuri
Paus Francis tiba di Yangon, Myanmar, Senin (27/11).
Foto: L'Osservatore Romano via AP
Paus Francis tiba di Yangon, Myanmar, Senin (27/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Paus Fransiskus meminta maaf kepada Muslim Rohingya atas rasa sakit yang sudah mereka alami saat konflik dimulai hingga saat ini. Hal tersebut disampaikan pemimpin Gereja Katolik itu saat mengunjungi ibu kota Bangladesh, Dhaka.

Paus meminta maaf atas ketidakpedulian dunia terhadap penderitaan yang dialami etnis Rohingya. "Kehadiran Tuhan hari ini juga disebut 'Rohingya'," kata Paus Fransiskus saat bertemnu pengungsi Rohingya di Bangladesh seperti dikutip Sky News, Jumat (1/12).
 
Dalam kesempatan tersebut, Paus Fransiskus menyempatkan diri untuk menyambut dan memberkati pengungsi Rohingya. Kepala Negara Kota Vatikan itu juga menggenggam tangan pengunsi Rohingya serta mendengarkan keluh kesah mereka.
 
Untuk pertama kalinya Paus juga menggunakan sebutan Rohingya bagi para pengungsi. Hal ini tidak dilakukan sebelumnya saat berkunjung ke Myanmar beberapa hari kemarin.
 
Saat itu dalam pidatonya, Paus menuntut penghormatan terhadap setiap kelompok etnis. Namun dia tidak merujuk secara khusus kepada komunitas Muslim Rohingya. Meski demikian, apa yang ia sampaikan adalah bentuk pembelaan yang kuat terhadap hak-hak etnik.
 
"Masa depan Myanmar harus damai, damai berdasarkan penghormatan terhadap martabat dan hak setiap anggota masyarakat, menghormati setiap kelompok etnis dan identitasnya, menghormati peraturan undang-undang, dan menghormati tatanan demokrasi. Yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok - tidak ada yang dikecualikan - untuk menawarkan kontribusi yang sah untuk kebaikan bersama," katanya.
 
Saat melakukan misa, Paus juga meminta jamaatnya untuk membela hak-hak suku di negara yang menghadapi pembersihan etnis. Dia juga meminta orang-orang tidak membalas dendam dengan mengatakan itu bukan jalan Yesus. Saat itu, Paus merujuk pada kekerasan yang menimpa etnis yang dilanda konflik.
 
Menurutnya, perbedaan agama tidak perlu menjadi sumber perpecahan dan ketidakpercayaan. Hal itu dia megnatakan, justru digunkaan seabgai kekuatan untuk persatuan, toleransi dan pembangunan bangsa.
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement