REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Validitas pajak turis backpacker (berbujet rendah) yang diberlakukan Pemerintah Australia tengah dikritik, setahun setelah legislasi ini disahkan oleh Parlemen.
Hampir setahun sejak kubu Koalisi Australia bersama Partai Hijau meloloskan pajak sebesar 15 persen terhadap turis backpacker yang berlibur sambil bekerja di negara itu.
Namun sebuah sidang yang digagas oleh Pengadilan Federal Queensland pada Senin (4/12) mengklaim pajak backpacker itu melanggar perjanjian internasional dan mendiksriminasi para pekerja asing.
Pajak backpacker membebani semua turis yang bekerja di Australia dengan pajak sebesar 15 persen. Sebelumnya, mereka bisa mendapatkan keringanan bebas pajak jika pendapatan mereka tak melebihi 18.200 dolar AS (atau setara Rp 182 juta).
Perusahaan penghitungan pajak daring yang berbasis di Irlandia, taxback.com, telah mengajukan gugatan hukum atas nama para pekerja dari Inggris, AS dan Jerman. "Ada pelanggaran terhadap kesepakatan pemotongan pajak ganda," kata Eileen Deveraux dari taxback.com.
"Ada pihak yang tak punya suara di lapangan."
Gugatan hukum itu mengklaim, pajak backpacker tersebut melanggkar kesepakatan Australia dengan Inggris, AS, Jerman, Finlandia, Cile, Jepang, Norwegia dan Turki. Deveraux mengatakan, para pekerja dari negara-negara tersebut mewakili 50 persen dari orang yang berkunjung ke Australia dengan visa liburan sambil bekerja nomor 417 dam 462.
Juru bicara untuk Menteri Keuangan Australia, Scott Morrison mengatakan ia tak bisa berkomentar atas masalah tersebut mengingat kasusnya sedang disidangkan di pengadilan. Berita itu mengejutkan para politikus dan kelompok lobi agrikultur Australia.
Para pihak itu berasumsi perdebatan atas isu tersebut telah usai dan industri telah mengadopsi besaran pajak yang baru. Sebelum kesepakatan tahun lalu dengan Partai Hijau, perdebatan atas pajak backpacker berlangsung selama 18 bulan, dengan sektor agrikultur dan pariwisata mengklaim bahwa ketidakpastian itu merugikan industri mereka.
Deveraux mengatakan, para pengacara internasional menulis kepada Pemerintah Australia untuk menanggapi gugatan hukum mereka di bulan September. Ia menambahkan, Pemerintah Australia telah menanggapi surat itu dan berharap agar negosiasi lebih lanjut bisa terwujud.
Deveraux mengatakan, ia berharap agar Pemerintah Australia berusaha memberlakukan kembali legislasi bagi para pemegang visa liburan sambil bekerja untuk mencegah gugatan hukum dilanjutkan. Ia berujar, pajak backpacker berisiko memberi Australia reputasi internasional yang buruk.
"Individu-individu ini adalah duta de facto bagi Australia," sebutnya.
"Mereka tentu saja menghidupkan industri serta sektor pariwisata di masa depan ketika mereka membawa pulang berbagai pengalaman Australia mereka."
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.