REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Pria bermata tajam dan berkumis tebal ini selama bertahun-tahun telah menjadi pria paling kuat di Yaman. Mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang tewas terbunuh oleh Houthi pada Senin (4/12), memerintah negara di Semenanjung Arab itu selama lebih dari tiga dekade, dan masih menjadi tokoh kunci setelah lengser pada 2012.
Saleh berasal dari minoritas Zaidi yang sama dengan kelompok Houthi. Ia bergabung dengan tentara di usia 20 tahun dan mengambil bagian dalam kudeta 1962 terhadap imam Zaidi Yaman.
Dalam perang enam tahun yang terjadi setelah kudeta itu, nasionalis yang didukung Mesir berhasil meraih kemenangan. Pada 1968, mereka membentuk Republik Arab Yaman yang juga dikenal sebagai Yaman Utara.
Beberapa bulan sebelumnya, kemerdekaan Yaman Selatan telah diumumkan menyusul ditariknya pasukan Inggris dari wilayah itu. Wilayah inilah yang akhirnya menjadi Republik Demokratik Rakyat Yaman yang diperintah oleh Komunis.
Saleh menunjukkan keahliannya dalam memimpin sejak masih di usia muda. Dia dengan cepat menaiki jabatan militer dan politik di Yaman Utara. Setelah pembunuhan Presiden Ahmad al-Ghashmi pada Juni 1978, majelis konstituen memilih Saleh, yang saat itu menjabat sebagai kolonel, sebagai Presiden Yaman Utara.
Saleh segera melakukan pertemuan dengan pembantu-pembantu terdekatnya dan memberi mereka jabatan di militer. Ia dengan tangkas mengerahkan negaranya menuju penyatuan kembali antara Yaman Utara dan Yaman Selatan pada 1990 dan empat tahun kemudian ia berhasil mengagalkan tawaran pemisahan diri dari Yaman selatan.
Saleh menjadi presiden pertama Yaman yang dipilih secara langsung pada 1999, dengan memenangkan lebih dari 96 persen suara. Namun pemilihan umum selama masa jabatannya telah banyak mendapat kritik, ia juga dituduh melakukan pembangkangan.
Dia menjadi sekutu AS dalam perang melawan Alqaidah yang memungkinkan terjadinya serangan pesawat tak berawak di wilayah Yaman. Pada 2002 pemimpin Alqaidah di Yaman, Qaed Salim Sinan al-Harithi, berhasil terbunuh.
Antara 2004 hingga 2010, Saleh juga menghadapi beberapa perang melawan militan Houthi yang telah lama mengeluhkan diskriminasi. Pada akhir 2000-an dia juga bergulat dengan demonstrasi pro-kemerdekaan yang berkembang di wilayah selatan.
Akan tetapi tantangan nyata dalam pemerintahannya terjadi saat ribuan orang melakukan unjuk rasa di jalanan pada 2011 yang terinspirasi dari Arab Spring. Saleh tetap berpegangan pada kekuasaannya di tengah tindakan keras yang ia lakukan terhadap para demonstran.
Dia kemudian meninggalkan Yaman ke Arab Saudi pada Juni 2011 untuk menerima perawatan medis setelah terkena luka bakar dalam serangan bom di kompleks kepresidenannya. Namun ia kembali ke Yaman dalam waktu kurang dari empat bulan kemudian.
Dia akhirnya menyerahkan kekuasaan pada Februari 2012 di bawah kesepakatan yang ditengahi negara-negara Teluk, yang memberinya kekebalan dari tuntutan. Wakil Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi kemudian mengambil alih kekuasaan setelah pengunduran diri Saleh.