REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kasus femicide di Turki meningkat tajam sampai 25 persen dan mencapai 409 pada 2017, sehingga menyulut kemarahan masyarakat, yang menuntut tindakan yang lebih efektif terhadap masalah besar sosial itu. Femicide adalah pembunuhan terhadap seorang perempuan, oleh orang dekat atau mantan orang dekat.
Dari 409 perempuan tersebut, sebanyak 39 persen dibunuh oleh suami, pacar atau mantan pacar dan mantan suami mereka, 33 persen oleh pelaku yang tak diidentifikasi, dan 24 persen oleh ayah, putra, putra tiri atau kerabat lain mereka, demikian satu laporan yang disiarkan oleh Stop Femicide Platform. Laporan itu juga mengatakan sedikitnya 332 perempuan adalah korban kekerasan seksual.
Menurut jumlah yang disiarkan oleh organisasi tersebut pada Ahad (31/12), jumlah kasus femicide ialah 237 pada 2013, 294 pada 2014, 303 pada 2015 dan 328 pada 2016. Laporan itu merujuk kepada kondisi darurat saat ini, yang diberlakukan setelah upaya kudeta pada 15 Juli 2016, sebagai alasan utama meningkatnya kekerasan terhadap perempuan pada 2017, sebab peraturan baru yang disahkan berdasarkan kondisi darurat memicu kekerasan terhadap perempuan.
"Kondisi darurat berarti pembekuan hukum. Perempuan tak melihat pasangan ketika mereka melaporkan kekerasan ke pihak yang berkompeten," kata Diren Cevahir Sen dari Platform, sebagaimana dikutip Xinhua Jumat (5/1).
Ribuan petugas masyarakat, termasuk personel kehakiman dan keamanan, dipecat setelah upaya kudeta tersebut, sehingga mengarah kepada kevakuman sumber daya manusia. Sementara itu, berbagai proyek di Kementerian Keluarga dan lembaga masyarakat terkait dengan perempuan dan anak-anak terhenti di bawah keadaan darurat.
Pemerintah juga membekukan ratusan organisasi non-pemerintah, termasuk organisasi kemanusiaan dan hak perempuan. Menurut Kementerian tersebut, 39,3 persen perempuan di negeri itu terpajan pada kekerasan fisik oleh pasangan atau mantan pasangan mereka.
Perempuan Turki memang diberi posisi setara di mata hukum, tapi dalam kenyataan banyak dari antara mereka menderita sebagai 'harta' lelaki di dalam susunan sosial yang konservatif, sebab pelaksanaan hukum secara tambal-sulam seringkali gagal melindungi hampir 40 juta perempuan dan anak perempuan di negeri itu.
Seorang perempuan yang menolak menikah atau bersatu lagi, atau mengajukan gugatan ceari dan yang diduga selingkuh, misalnya, bisa dengan mudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Banyak korban tidak meminta bantuan sebab mereka tak memiliki kemandirian ekonomi untuk mandiri atau takut untuk menghubungi polisi.
Pemerintah mensahkan banyak hukum terhadap femicide tapi langkah pencegahan terbatas, sebab hukuman bagi pelaku akan dikurangi karena "prilaku baik" selama proses pengadilan. Terlebih lagi, jika motif pelaku melibatkan kehormatan atau privasi keluarga, hukuman juga dapat dengan mudah dikurangi.
Banyak perempuan dibunuh oleh pasangan mereka yang melakukan kekerasan bahkan setelah mereka memohon perlindungan polisi, sedangkan hakim akan mengirim korban pulang bersama pelaku. Data statistik yang disiarkan oleh Kementerian Kehakiman memperlihatkan pelanggaran seksual meningkat sedangkan hukuman yang berkaitan dengan kasus itu turun dalam beberapa tahun belakangan.