REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ribuan warga Yaman yang menderita gagal ginjal berisiko meninggal. Palang Merah Internasional atau International Committee od Red Cross (ICRC) mengungkapkan, hal ini hanya bisa dicegah bila pusat dialisis di negara yang dilanda perang itu menerima lebih banyak persediaan dan staf mereka dibayar.
Fasilitas kesehatan Yaman telah hancur oleh tiga tahun perang antara pemerintah yang didukung Saudi dan pemberontak yang didukung Iran. Ibu Kota Yaman pun tidak kondusif karena dilanda perang. "Sebanyak 25 persen pasien gagal ginjal di Yaman telah meninggal setiap tahun sejak konflik dimulai pada 2015," kata Palang Merah Internasional seperti dikutip Dailymotion.co.uk, Selasa (6/2).
"Persediaan dialisis lebih banyak, mesin dialisis yang berfungsi, dan dana untuk gaji staf sangat dibutuhkan untuk memastikan tingkat mortalitas tidak naik lebih tinggi pada 4.400 pasien gagal ginjal di Yaman," kata ICRC menambahkan. "Tanpa perawatan dialisis, hasilnya fatal," kata Alexandre Faite, kepala delegasi ICRC di Yaman.
Lebih dari 9.200 orang telah terbunuh sejak koalisi militer pimpinan-Arab campur tangan dengan pihak pemerintah pada tahun 2015. Hal itu membuat negara tersebut menghadapi apa yang disebut PBB sebagai bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
ICRC menyebutkan, Empat pusat dialisis telah ditutup di Yaman sejak perang dimulai. Sementara 28 pusat dialisis sisanya berupaya untuk memberikan layanan namun dengan kondisi mesin rusak, kurangnya persediaan penting dan staf yang tidak dibayar.
Sementara itu, banyak pasien yang telah mengurangi jadwal menjadi dua sesi pengobatan dalam seminggu. Padahal, yang direkomendasikan adalah tiga sesi. Bila keadaan terus berlanjut, dikhawatirkan ribuan pasien tersebut tidak dapat diselamatkan.