Sabtu 10 Feb 2018 17:13 WIB

Kim Jong-un Undang Presiden Korsel untuk Berkunjung ke Korut

Undangan pribadi Kim disampaikan oleh adik perempuannya.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Kim Jong-un.
Foto: AP
Kim Jong-un.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in telah menerima undangan pribadi dari pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un untuk berkunjung ke Pyongyang. Undangan ini memungkinkan terjadinya pertemuan pertama antara pemimpin kedua Korea setelah lebih dari 10 tahun.

Undangan pribadi dari Kim disampaikan oleh adik perempuannya, Kim Yo-jong, pada Sabtu (10/2) saat ia menghadiri jamuan makan siang bersama Moon di Blue House, Seoul. "Kami ingin bertemu dengan Anda secepatnya di Pyongyang," kata Kim Yo-jong dalam jamuan itu, menurut pejabat Blue House.

"Kim Jong-un ingin bertemu Moon secepatnya dan Moon mengajak Kim untuk menciptakan iklim baik guna mewujudkan pertemuan itu," ujar juru bicara Blue House Kim Eui-kyeom. Seorang pejabat Blue House mengatakan Moon secara praktis menerima undangan tersebut.

 

Baca juga,  Warga Korsel Lebih Khawatirkan Trump Dibanding Kim Jong-un.

 

Prospek pembicaraan dua arah antara Korea itu mungkin tidak akan disambut baik oleh Amerika Serikat (AS). Washington telah menerapkan strategi untuk memberikan tekanan maksimum pada Pyongyang melalui sanksi dan retorika keras, yang menuntut negara itu untuk menghentikan program senjata nuklirnya.

Pyongyang diketahui telah melakukan uji coba nuklir terbesar tahun lalu. Negara itu juga mengatakan mereka telah mengembangkan rudal yang mampu membawa hulu ledak nuklir ke daratan AS.

Wakil Presiden AS Mike Pence, yang juga berada di Korsel untuk menghadiri Olimpiade, mengatakan AS dan Korsel memiliki kaitan erat dalam upaya untuk menangani Korut. "Saya sangat yakin, seperti Presiden Trump, Presiden Moon akan terus berdiri teguh dengan kami dalam melakukan tekanan ekstrem," kata Pence kepada NBC dalam sebuah wawancara pada Jumat (9/2).

"Jangan salah, AS memiliki pilihan untuk melakukan operasi militer guna menghadapi ancaman nuklir Korut. Namun, kami berharap ada jalan yang lebih baik," jelas dia.

Korut dan Korsel secara teknis masih berperang setelah konflik 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata dan bukan dengan perjanjian damai. AS ikut bertempur dengan Korsel dan telah mempertahankan puluhan ribu tentaranya untuk melindungi sekutunya itu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement