REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pernahkah Anda mengintip pagar halaman belakang Anda dan memeriksa kebun sayuran yang mengesankan milik tetangga Anda dengan rasa iri? Jika demikian, Anda tak sendirian.
Bagi banyak orang, kebun makanan di halaman belakang yang subur adalah bagian penting dari mimpi Australia. Sementara banyak orang tak makan alpukat tumbuk untuk menghemat, ada orang yang menumbuhkan sendiri tanaman itu.
Tapi siapakan petani urban ini? Berapa jumlahnya? Dan apa yang mereka tanam? Inilah pertanyaan yang ingin dijawab program Curious Melbournian di ABC.
"Saya sering bertanya-tanya berapa banyak pertanian urban beroperasi di Melbourne. Saya mengunjungi seorang teman yang pindah ke properti sewa di mana penghuni sebelumnya nampaknya memiliki banyak pohon penghasil buah yang berbeda. Siapa di luar sana menanam semua sayur yang mereka butuhkan di halaman belakang?" kata Daniel Fay dari program tersebut.
Program ini melakukan beberapa penelusuran untuk mencoba mencari tahu.
Ada berapa banyak petani urban?
Istilah "petani urban" cukup luas. Apakah istilah ini mengacu pada pertanian komersil atau merujuk siapa saja yang menanam sesuatu yang bisa dimakan di halaman belakang mereka? Di satu sisi, ya. Tapi, Daniel ingin tahu lebih banyak tentang kebun makanan halaman belakang dan kebun komunitas, jadi kami memilih untuk memusatkan perhatian pada hal itu.
Mendapatkan gambaran pasti tentang berapa banyak jumlah petani perkotaan ini begitu sulit, mengingat hal itu bukanlah informasi yang dikumpulkan secara teratur sebagai bagian dari sensus. Kami telah melakukan yang terbaik untuk memperkirakan angka-angkanya, berdasarkan pada penelitian terbaru yang pernah ada di bidang ini.
Institut Australian melakukan penelitian pada tahun 2014 dan menemukan, di seluruh Australia, 52 persen rumah tangga melaporkan bahwa setidaknya mereka menanam sebagian makanan mereka sendiri di halaman belakang rumah mereka.
Di negara bagian Victoria, angka tersebut meningkat menjadi 57 persen - jauh lebih tinggi daripada di Queensland dan New South Wales. Para peneliti menghubungkan hal ini dengan iklim sedang di negara bagian selatan yang lebih sesuai untuk menumbuhkan jenis tanaman yang dikonsumsi orang setiap hari, bukan buah tropis mewah. Kalau begitu ceritanya, akan ada begitu banyak leci yang bisa dimakan keluarga!
Jadi, jika jumlah rumah tangga di Melbourne - menurut sensus 2016 - sekitar 1,57 juta, maka jumlah rumah tangga yang menanam beberapa makanan mereka sendiri sekitar 897 ribu orang.
Jelas, jumlah yang dihasilkan di kebun belakang sangat bervariasi, dari beberapa tanaman bumbu dan tomat hingga buah dan sayuran dalam jumlah yang hampir komersil. Jumlah rumah tangga yang memproduksi semua yang mereka butuhkan diperkirakan cukup kecil, namun penelitiannya terbatas dan pengumpulan informasi semacam ini belum menjadi bagian dari sensus sejak 1992.
Sebuah studi sedang berlangsung di Universitas Melbourne untuk menghasilkan kumpulan data yang lebih luas tentang siapa saja yang menanam apa dan berapa banyak. Selain warga yang sudah menanam makanan mereka sendiri, studi di Institut Australian menemukan 13 persen orang lainnya berniat untuk memulai kegiatan itu dalam 12 bulan ke depan.
Para peneliti mengatakan itu menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga populasi setidaknya tertarik pada produksi makanan di halaman belakang rumah.
Siapa saja mereka?
Petani perkotaan sama beragamnya seperti bagian populasi Melbourne lainnya, namun paling sesuai dengan satu dari tiga kategori: tukang kebun akhir pekan, tukang kebun komunitas atau petani semikomersil.
Tukang kebun akhir pekan
Kebanggaan dan kegembiraan di taman Robyn Richards adalah tanaman tromboncino yang mencolok: sejenis labu yang tumbuh hingga beberapa kaki dan melengkung sampai terlihat seperti - Anda bisa menebaknya - sebuah alat musik trombon.
Tempat itu dekoratif, tapi tak ada satupun di taman Robyn yang murni ditanam untuk tontonan. "Jika saya tidak bisa memakannya, saya tidak menanamnya," katanya.
"Ayah saya selalu menanam sayuran di halaman belakang rumahnya, jadi saya kira saya meniru hal itu itu dari dia.”
"Saya punya resep dan saya berpikir, oh saya tidak punya bahan itu, jadi saya akan menanamnya," ujarnya.
Robyn bekerja penuh waktu sehingga jatah berkebunnya sebagian besar dibatasi beberapa jam selama akhir pekan. Ia mengatakan pekerjaan terbesarnya adalah mengubah kompos.
"Saya selalu mengatakan, berilah tanah makanan dan tanah akan memberi makan Anda," sebutnya.
Dan begitulah yang terjadi. Pada masa puncak, Robyn memproduksi zucchinis 15 kilogram seminggu dan lima kilogram tomat.
"Saya banyak membagi-bagikan hasil kebun saya," katanya.
Ia juga membuat sendiri resep dan sausnya, yang berujung pada hadiah Natal yang sangat menolong. "Menurut saya makanan rumahan pasti terasa jauh lebih enak," katanya.
Ini bukan alasan ekonomis -tentu mungkin harganya lebih mahal daripada membeli di supermarket -tapi saya suka memiliki produk segar dan memilikinya kapanpun saya membutuhkannya.
"Ini relaksasi saya, suami saya bermain golf dan saya berkebun."
Tukang kebun komunitas
Mustafa Adem cenderung menanam sayuran dan tanaman bumbu kecil di area teduh di balik gedung perumahan komunitas di Fitzroy. Mustafa dan istrinya, Ikilima Ali, pindah ke Australia 18 bulan yang lalu dari Ethiopia, di mana pasangan itu menanam semua makanan mereka sendiri, dan menanam ramuan herbal untuk membuat obat tradisional mereka sendiri.
"Sayuran di Ethiopia sangat penting," katanya.
Ada 21 taman seperti milik Mustafa di komplek perumahan milik pemerintah di Melbourne, yang dikelola oleh kelompok nirlaba Cultivating Community.
Warga di blok gedung sekitarnya diberi plot yang lebih kecil di dalam kebun yang lebih besar. Setiap plot memiliki karakter sendiri, yang mencerminkan latar belakang para pemilik kebun - baik itu Ethiopia, Afghanistan atau Vietnam.
"Tanahnya sangat bagus di kebun ini. Saya sangat senang," kata Mustafa.
Petani semi-komersil
Simeon Hanscamp bangun pagi-pagi dan -dari pengakuannya sendiri -melawan kehendaknya sendiri ia sudah bersiap di kebun belakang rumahnya di wilayah Heidelberg West. "Saya bukan orang yang bangun pagi tapi saya diberitahu oleh tukang kebun pasar lain Anda perlu mencicipi selada sebelum fajar menyingsing," katanya.
Simeon membujuk pemilik properti sewaannya untuk membiarkannya merombak halaman rumput untuk ditanam sayur.
"Itu tadinya benar-benar rumput saja. Kami telah mengubahnya menjadi tanaman petak hampir setiap meter persegi, sekitar 220 meter persegi produksi sayuran di plot ini," katanya.
Ia sekarang menanam cukup banyak produk segar untuk memasok 15 keluarga di lingkungan sekitar dengan sayuran senilai 20 dolar AS (atau setara Rp 200 ribu) seminggu. Ia mengatakan, penduduk setempat sangat ingin membantunya menjalankan usahanya dan mengelolanya.
"Saya juga mengenal semua tetangga saya karena saya berada di halaman depan dan mereka semua berpikir itu agak aneh."
Mengapa mereka menanam makanan?
Warga Melbourne seringkali menjadi lelucon tentang cuaca, namun iklim di Victoria memungkinkan para tukang kebun menanam apapun, tergantung musimnya. Sebuah studi RMIT mendokumentasikan 15 kebun halaman belakang selama beberapa bulan dan mendapati mereka menghasilkan 101 produk berbeda yang bisa dimakan, mulai dari telur puyuh hingga gooseberry.
Kebun itu menghasilkan rata-rata 8-10 kg hasil panen setiap bulannya. Bahkan dari sampel kecil, para peneliti mengidentifikasi berbagai macam hasil, menunjukkan bahwa warga Melbourne bersedia memiliki lahan kecil untuk menanam apa saja.
Namun, favorit lama seperti buah, jeruk, kacang-kacangan, sayuran hijau dan tomat berkontribusi lebih dari 50 persen produk yang dihasilkan. Studi tersebut juga menemukan bahwa rumah tangga dengan ayam menghasilkan rata-rata lebih dari 30 telur per bulan.
Salah satu bidang di mana segala sesuatunya berubah adalah produksi madu. Ada pertumbuhan yang signifikan di bidang itu di Victoria sejak teknologi baru mulai dipasarkan, membuat peternakan lebah lebih mudah diakses.
Belum ada angka pasti tentang berapa banyak pertumbuhan yang terjadi, namun ada laporan anekdot tentang klub peternakan lebah di Victoria yang mengenakan biaya keanggotaan setelah muncul lonjakan permintaan.
Mengapa perlu lebih tahu banyak soal pertanian urban?
Peneliti RMIT, Zainil Zainuddin, sangat percaya pada penulis Alfred Henry Lewis yang mengutip pernyataan manusia hanya berjarak sembilan kali makan dari kondisi anarki. "Jika Anda mengandalkan makanan untuk datang dari luar tempat tinggal Anda, sistem ini sangat rentan terhadap banyak hal," katanya.
Zainuddin percaya lebih banyak penelitian tentang siapa yang memproduksi makanan mereka sendiri dan berapa banyak yang mereka hasilkan sangat penting dalam memastikan keamanan pangan di kota-kota seperti Melbourne.
Berbagai penelitian telah menyoroti kerentanan rantai pasokan makanan Australia terhadap faktor-faktor termasuk perubahan iklim dan keterbatasan sumber daya. Penelitian Zainuddin menunjukkan bahwa pertanian perkotaan - di semua tingkat - semakin meningkat saat orang menjadi lebih proaktif dalam mencari makanan yang mereka inginkan.
"Mereka ingin menumbuhkan semua jenis makanan yang ingin mereka makan, mereka ingin memiliki makanan segar, dan mereka tidak menginginkan makanan yang telah memodifikasi unsur-unsur genetik dalam makanan.”
"Saya mengenal seorang manajer IT di Bentleigh yang memelihara ulat Hong Kong dan mengaduknya dengan bawang putih dan mentega. Baginya ini semua tentang menemukan protein di dalam kota."
Hancurnya penghasil produk segar Aussie Farmers Direct baru-baru ini juga menimbulkan sorotan pada dominasi supermarket besar Australia. Ketika pasokan supermarket terganggu - seperti yang terjadi pada 2011 ketika Topan Yasi menghancurkan tanaman pisang Queensland, itu membuat harga setinggi 15 dolar AS (atau setara Rp 15 ribu) per kilo - semua orang menderita.
Tapi itu tidak berarti perkebunan pisang akan bermunculan di halaman belakang pinggiran kota di Melbourne dalam waktu dekat.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.