REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sri Lanka kemungkinan akan mencabut larangan media sosial pada pekan ini. Pemerintah Sri Lanka telah memblokir akses ke media sosial untuk mencegah penyebaran kekerasan komunal.
Menteri Telekomunikasi,Harin Fernando mengatakan pejabat Facebook diperkirakan akan mengunjungi Sri Lanka pada Kamis (15/3). Untuk itu, pemerintah kemungkinan akan mencabut larangan akses Facebook dan Whatsapp.
"Begitu kita berdiskusi dengan pejabat Facebook pada Kamis, larangan tersebut kemungkinan akan dicabut pada Jumat," katanya. Menurutnya, Facebook lamban dalam mengatasi masalah pemerintah.
Fernando mengatakan pihak berwenang akan memantau secara ketat konten ujaran kebencian yang dapat merusak keserasian etnis. Dua lembaga yang dikelola negara akan langsung bekerja sama dengan Facebook mengenai pemantauan tersebut.
Dia menambahkan pemerintah tidak dapat mengendalikan ujaran kebencian dan pesan palsu di Facebook. Baik yang disebarkan oleh umat Buddha atau Muslim. Hal ini telah menjadi ancaman besar bagi keamanan nasional.
"Kami telah melihat penghancuran karena pesan Facebook. Kami meminta Facebook untuk membantu kami menghentikan perkataan yang mendorong kebencian dan masalah yang telah dibuat pesan tersebut," katanya.
Dalam sebuah pernyataan terpisah, pemerintah mengatakan bahwa pihaknya akan mencabut larangan Viber pada Rabu dini hari. Facebook, yang juga merupakan pemilik WhatsApp, mengatakan undang-undang tersebut memiliki peraturan yang jelas mengenai ujaran kebencian dan hasutan terhadap kekerasan.
Menghadapi situasi di Sri Lanka, pihak Facebook mengaku menghubungi badan pemerintah dan non-pemerintah untuk mendukung upaya mengidentifikasi dan menghapus konten semacam itu.
"Kami prihatin dengan cara akses internet dibatasi dan merampas koneksi dan ekspresi penting, dan kami berharap akses akan segera pulih," katanya.
Sementara itu, Duta Besar AS untuk Sri Lanka Atul Keshap mengatakan jika larangan akses media sosial terus berlanjut maka akan mengganggu sektor pariwisata, teknologi informasi serta bisnis. Hal ini juga akan memperburuk reputasi Sri Lanka terkait kebebasan dan keterbukaan Informasi.
"Begitu banyak warga Sri Lanka juga mengandalkan media sosial untuk terhubung dengan orang-orang tercinta di luar negeri," katanya.
Sedikitnya dua orang tewas dalam bentrokan pada awal bulan ini antara etnis Buddha dan Muslim. Umat Buddha Sinhala menyerang masjid dan properti milik Muslim di distrik Kandy tengah.
Beberapa kekerasan dihasut oleh posting di Facebook. Pemerintah pada 7 Maret mengurangi akses ke Facebook, Viber dan WhatsApp.
Awalnya, larangan tersebut hanya berlangsung selama tiga hari. Namun dalam praktiknya larangan tersebut lebih lama dari waktu yang telah ditetapkan.
Ketegangan komunal di Sri Lanka telah meningkat sepanjang tahun lalu. Kelompok Buddha garis keras menuduh Muslim memaksakan orang untuk masuk Islam dan merusak situs arkeologi. Tuduhan ini dibantah oleh kelompok Muslim.
Saat ini polisi sedang menyelidiki aliran dana dari 10 tersangka pemimpin gelombang serangan terhadap umat Islam. Juru bicara polisi Ruwan Gunasekara mengatakan unit investigasi terorisme telah menemukan lebih dari 10 tibu selebaran yang bertujuan untuk memicu bentrokan komunal dari salah satu kantor tersangka di Kandy.
Dia juga mengatakan 280 orang telah ditangkap. Polisi juga telah berhasil menemukan tujuh bom bensin dari informasi yang diperoleh dari tersangka.
Sebuah jam malam di Kandy telah dicabut pada Sabtu. Namun sejak itu dua serangan terhadap properti milik Muslim terjadi di distrik Selatan dan Utara Barat negara tersebut.
Muslim Sri Lanka berjumlah sekitar 9 persen dari 21 juta populasi. Kebanyakan mereka tinggal di timur dan tengah pulau. Populasi Sinhala Buddha mencapai sekitar 70 persen. Dan etnis Tamil, yang kebanyakan adalah orang Hindu, sekitar 13 persen.