REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Jutaan pekerja Australia tidak memiliki dana pensiun atau memilikinya namun tidak cukup layak sehingga mendorong perlunya perombakan total keseluruhan sistem. Secara hukum, perusahaan di Australia wajib membayarkan dana pensiun karyawannya yang berpenghasilan lebih dari 450 dolar AS per bulan.
Namun sekitar 1 juta pekerja di negara ini digolongkan bukan sebagai karyawan, melainkan sebagai kontraktor independen, dan sebagian besar tak memenuhi syarat wajib dana pensiun. Jumlah pekerja di luar ruang lingkup sistem dana pensiun wajib semakin bertambah dengan munculnya aplikasi seperti Deliveroo dan Uber, yang membangun bisnis mereka sebagai pihak ketiga yang hanya menghubungkan "wiraswasta" dengan pelanggan.
"Saya pikir ini persoalan besar, dan saya kira kita belum mengatasinya saat ini," ujar Associate Professor Sarah Kaine, ahli gig economy dari University of Technology Business School Sydney, kepada Program Four Corners ABC.
"Meski untuk sementara masih aman, namun hal ini akan jadi masalah bagi kita dalam lima, 10, 15, 20 tahun di saat pekerja freelance, pekerja kontrak, memasuki pensiun," jelasnya.
"Maka risiko sosialnya, karena kita membiarkan pekerjaan semacam itu, akan kembali kepada pembayar pajak, kepada mereka yang akan membayar pajak, yang harus menanggung beban tanpa dana pensiun yang cukup," kata Prof Kaine.
Financial Services Council, kelompok lobi untuk manajemen investasi dan dana pensiun yang dijalankan perbankan dan lembaga keuangan lainnya, meminta Komisi Produktivitas Pemerintah Australia menyelidiki implikasi gig economy terhadap dana pensiun. "Agar dana pensiun sebagai kebijakan publik bisa sukses, seperti keadaannya sampai saat ini, maka harus fleksibel sehingga memungkinkan pekerja dalam gig economy memiliki cukup uang untuk pensiun," kata CEO Financial Services Council Sally Loane.
"Kita tidak boleh membiarkan pekerja terabaikan," tambahnya.
"Dari apa yang kami pahami, sangat jarang dana pensiun yang dibayarkan dalam pekerjaan kontrak jangka pendek," kata Prof Kaine.
"Sebagian besar karena pekerja kontrak jangka pendek diklasifikasikan 'bukan karyawan', jadi kontraktor independen, atau wirausahawan, atau freelancer, seringkali disengaja guna menghindari tanggung jawab atau dana pensiun atas nama perusahaan," katanya.
Sosok berpengaruh dalam industri dana pensiun dan serikat pekerja menyerukan kontribusi wajib dana pensiun diperluas ke semua golongan pekerja, termasuk mereka dalam gig economy. "Secara keseluruhan kita membutuhkan sistem universal. Saat ini belum universal. Jutaan pekerja terabaikan dalam sistem dana pensiun di negara ini," ujar Tim Kennedy, pimpinan salah satu dana pensiun tertua di Australia, LUCRF, dan juga pimpinan Serikat Pekerja Nasional.
"Kita membutuhkan situasi di mana tak peduli bagaimana Anda terlibat sebagai pekerja, tak peduli bagaimana Anda disebut oleh majikan, setiap jam Anda bekerja, setiap hari Anda bekerja, dana pensiun Anda akan bertambah," paparnya.
"Itu penting. Itu harus terjadi agar berhasil. Jika Anda seorang pekerja, Anda harus dibayarkan dana pensiun. Titik," kata Kennedy.
Dia menambahkan bahwa seluruh desain sistem dana pensiun perlu perbaikan karena sistem sekarang tidak menjangkau pekerja rentan yang paling membutuhkan bantuan untuk menabung dana pensiun.
Bukan perangkat kesejahteraan
Mantan Perdana Menteri Paul Keating, yang berperan utama dalam merancang dan membangun sistem dana pensiun Australia, geram dengan desakan bahwa sistem ini tidak adil dan harus dirombak. "Ide semacam ini, (bahwa) dana pensiun merupakan permainan melawan orang biasa demi orang kaya. Sama sekali tidak benar," kata Paul Keating.
"Sebagai perancang sistem itu, izinkan saya dengan semua kewenangan menyatakan, hal ini tak pernah dimaksudkan sebagai perangkat kesejahteraan. Dana pensiun ini selalu merupakan perangkat tabungan untuk kelas menengah Australia. Katakanlah pekerja (dengan penghasilan) antara 65 ribu dolar AS dan 130 ribu dolar AS," katanya.
"Jalur yang paling bermanfaat adalah untuk kategori pekerja berpenghasilan rendah, mereka mendapatkan pembayaran dari APBN, yang saya tetapkan tepat sebelum meninggalkan (jabatan)," katanya.
Banyak pekerja tak menerima dana pensiun mereka karena kegagalan pihak perusahaan, terutama sektor usaha kecil, dalam memenuhi kewajiban mereka untuk membayar kontribusi wajib dana pensiun. Perusahaan tidak membayarkan dana pensiun karyawannya sekitar 3 miliar dolar AS setahun, demikian menurut analisis Kantor Pajak Australia (ATO) yang bertanggung jawab mengumpulkan dana yang belum dibayarkan.
Penelitian lain dari Industry Super Australia menyebutkan angka 5,6 miliar dolar AS dana pensiun setahun yang tak dibayarkan untuk hampir 3 juta pekerja. "Saya pikir hal itu sangat membingungkan, jika kita pertimbangkan bahwa dana pensiun dimaksudkan sebagai hak yang dijamin," kata Prof Kaine.
"Buruknya tingkat kepatuhan (perusahaan membayarkan dana pensiun pekerjanya) ini sangat mengejutkan," tuturnya.
Diterbitkan oleh Farid M Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.