REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mendeportasi 60 diplomat AS pekan ini dan memerintahkan penutupan Kedutaan Besar AS di St Petersburg. Moskow mengancam akan mengeluarkan diplomat negara lain bila memilih bergabung bersama Washington dan London menuding Moskow meracun seorang mantan intelijen Rusia.
Rusia menyatakan 60 diplomat AS tersebut diberi waktu sepekan untuk meninggalkan Rusia. Rusia secara terbuka menyatakan itu adalah aksi balasan karena Washington melakukan hal yang sama lebih dulu. "Kami juga akan berlaku simetris terhadap negara-negara lain terkait jumlah diplomat kami yang mereka keluarkan," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.
Jika benar, maka diplomat negara-negara Barat lain akan dikeluarkan pula dari Rusia. Prancis, Jerman, dan Polandia harus bersiap menerima masing-masing empat diplomat mereka pulang, Ukraina 13 diplomat. Sementara Denmark, Albania dan Spanyol masing-masing dua diplomat. Inggris sendiri sudah mengeluarkan 23 diplomat Rusia dari sana.
Gedung Putih menyatakan tindakan Rusia hanya memperburuk hubungan kedua negara. "Tindakan Rusia tidak kami prediksi sebelumnya dan kami akan hadapi itu," demikian pernyataan Gedung Putih seperti dikutip Reuters, Jumat (30/3).
Deportasi diplomat AS oleh Rusia ini merupakan aksi balasan setelah negara-negara Barat melakukan hal serupa karena dugaan Rusia terlibat dalam kasus tewasnya Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Salisbury, Inggris pada 4 Maret lalu akibat racun yang mematikan saraf. Departemen Luar Negeri AS aksi Rusia hanya memperburuk situasi. "Kami akan merespons kondisi ini dan kami saat ini tengah mengulas semua opsi yang ada," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert.
Inggris dan bersama sejumlah negara Barat sudah mendeportasi pada diplomat Rusia dari negara mereka. Begitu pula AS yang memulangkan 60 diplomat Rusia yang diduga adalah para agen yang menyamar. Moskow sendiri membantah tuduhan keterlibatan mereka dalam tewasnya Skripals.