Kamis 05 Apr 2018 17:51 WIB

Ribuan Pendukung Zuma Padati Pengadilan untuk Beri Dukungan

Mantan presiden Afsel Jacob Zuma akan menjalani persidangan pada Jumat (6/4).

Rep: Marniati/ Red: Nidia Zuraya
Jacob Zuma
Foto: Reuters
Jacob Zuma

REPUBLIKA.CO.ID, DURBAN -- Ribuan pendukung mantan presiden Afrika Selatan Jacob Zuma diperkirakan akan memenuhi Pengadilan Tinggi Durban pada Jumat (6/4). Zuma akan menjalani persidangan terkait tuduhan korupsi atas kesepakatan senjata yang sudah berlangsung selama beberapa dekade.

Zuma berencana menempuh proses hukum untuk menolak semua tuduhan. Ia menerima 16 dakwaan, termasuk penipuan, pemerasan, korupsi dan pencucian uang, yang berasal dari kesepakatan senilai 2,5 miliar dolar AS.

Organisasi-organisasi keagamaan dan kelompok-kelompok lobi pro-Zuma memenuhi pengadilan mulai Kamis malam. Mereka berencana melakukan aksi pawai untuk memprotes persidangan. Massa mengatakan kasus Zuma bermotif politik.

"Mungkinkah Zuma menjadi sasaran karena dia selalu berada di pihak orang miskin. Mungkinkah Zuma ditargetkan karena dia lebih suka pendidikan gratis untuk orang miskin?,"kata Komisi Urusan Agama.

Polisi mengatakan massa pendukung diperkirakan berjumlah 2.000 orang. Polisi akan mengerahkan pasukan untuk menjaga keamanan masyarakat lainnya.

"Kami harus memastikan warga aman. Saya meminta kepada para demonstran untuk memastikan mereka bekerja sama dengan polisi. Jika ada yang melakukan kejahatan, mereka akan ditangkap,"kata Juru bicara kepolisian Kwa-Zulu Natal Thembeka Mbhele.

Zuma menjabat sebagai wakil presiden pada saat kesepakatan senjata terjadi pada 1990-an. Mantan penasehat keuangannya,Schabir Shaikh dinyatakan bersalah dan dipenjara pada 2005. Ia berusaha meminta suap untuk Zuma dari perusahaan senjata Prancis.

Zuma dituntut atas kasus tersebut. Tetapi kemudian kasusnya dihentikan oleh jaksa nasional sesaat sebelum dia berhasil mencalonkan diri sebagai presiden pada 2009.

Sejak pemilihannya sembilan tahun lalu, lawan-lawannya berusaha mengembalikan tuduhan itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement