Jumat 08 Jun 2018 14:02 WIB

Kemiskinan Warga Gaza Semakin Parah

Hassan harus mengorbankan distribusi makanan darurat karena AS menahan bantuan

Rep: Marniati/ Red: Bilal Ramadhan
Anak-anak kecil yang tinggal di Jalur Gaza kondisinya memprihatinkan.
Foto: Reuters
Anak-anak kecil yang tinggal di Jalur Gaza kondisinya memprihatinkan.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Samia Hassan dulunya memiliki cukup uang untuk memberi makan anak dan cucunya. Tetapi sekarang ia begitu khawatir memikirkan persediaan makanan untuk keluarganya.

Hassan rela mengelilingi pasar sayur Gaza untuk mendapatkan harga murah. Ia juga rela menempuh jalan jauh agar memperoleh bubur gratis dari dapur umum.

Sejumlah besar keluarga Gaza semakin hidup dalam kemiskinan sejak beberapa bulan terakhir. Ini akibat pertikaian politik Palestina dan pembekuan bantuan AS.

Sebagian besar warga Gaza merasakan kesulitan karena listrik mati hampir setiap hari dan pengangguran mendekati angka 50 persen. Ia harus mengorbankan distribusi makanan darurat karena pemerintah Trump menahan bantuan.

Meningkatnya keputusasaan di Gaza telah mendorong protes yang dipimpin Hamas baru-baru ini terhadap blokade perbatasan oleh Israel dan Mesir. Penutupan itu diberlakukan setelah Hamas, dicap sebagai kelompok teroris oleh Israel dan Barat, merebut Gaza pada 2007.

Krisis yang meningkat juga menyoroti kurangnya kebijakan Gaza yang koheren oleh para pemain eksternal yang mencoba menciptakan masa depannya. Israel dan Mesir mengatakan mereka membutuhkan blokade untuk menahan Hamas, tetapi belum menawarkan rencana yang layak untuk Gaza.

Masyarakat internasional ingin blokade dicabut, tetapi belum memikirkan langkah untuk menyikapi Hamas, yang menolak untuk melucuti senjata. Hassan mengatakan dia bergabung dengan protes perbatasan berulang kali.

Ia mengaku dengan sengaja mendekati pagar perbatasan dengan harapan akan ditembak dan dibunuh oleh pasukan Israel. "Kematian lebih baik dari kehidupan ini," katanya disaksikan oleh putra-putrinya, seperti dikutip AP, Jumat (8/6).

Hassan tinggal di rumah batako miliknya yang belum selesai dibangun. Ia tinggal dengan tujuh anak-anaknya yang sudah dewasa, tiga menantu perempuan dan 16 cucu.

Hassan mengatakan dia memutuskan mundur dari pagar perbatasan karena khawatir akan berakhir cacat dan bukannya mati. Ini akan menjadi beban bagi keluarga.

Dalam dua bulan terakhir, lebih dari 115 orang Palestina tewas dan hampir 3.800 orang terluka oleh tembakan Israel dalam protes perbatasan yang berlangsung hampir satu pekan. Di antara korban luka mengalami cacat seumur hidup.

Dalam perang terakhir pada 2014, taksi keluarga sebagai sumber pendapatan penting, dihancurkan dalam serangan udara Israel. Setelah itu, putra-putranya hanya menemukan pekerjaan secara sporadis dan satu dari mereka harus dipenjara karena tidak mampu membayar utangnya.

Keluarga itu mengalami kepedihan baru setelah Abbas memerintahkan pemerintah otonom Tepi Baratnya untuk membatasi pembayaran dukungan rutinnya ke Gaza. Tindakan Abbas dimaksudkan untuk memaksa Hamas menyerahkan otoritas.

Pejabat Kementerian Urusan Sosial Khaled Barghouti mengatakan setiap orang biasanya mendapatkan 500 dolar AS setiap tiga bulan dari Otoritas Palestina. Tetapi bantuan itu belum dibayar sejak awal tahun, bersama dengan puluhan ribu penerima kesejahteraan Gaza lainnya.

Sementara itu, sekitar 60 ribu mantan pegawai negeri, dibayar oleh Abbas sejak 2007 untuk memastikan kesetiaan mereka. Mereka hanya menerima sebagian kecil dari gaji sejak Maret. Dengan nyaris tidak ada uang masuk, keluarga Hassan hanya bergantung pada dana amal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement