REPUBLIKA.CO.ID, YAMAN -- Kelompok hak asasi internasional menyerukan penyelidikan atas dugaan penghilangan, penyiksaan dan kemungkinan kematian di penjara yang dijalankan oleh Uni Emirat Arab dan milisi sekutu di Yaman selatan. Dilansir di Aljazirah disebutkan, Amnesty International mengatakan dalam sebuah laporan pada hari Kamis (12/7) bahwa mereka telah mendokumentasikan penghilangan paksa secara sistemik dan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, sebesar kejahatan perang di fasilitas itu.
Laporan itu mengatakan beberapa (tahanan) takut mati dalam tahanan. Berdasarkan lebih dari 70 wawancara, para penulis mengatakan praktik kejam dan melanggar hukum sedang dilakukan di penjara tersebut.
Amnesty menyerukan kepada pemerintah Emirat untuk segera menghentikan penyiksaan, dan membebaskan para tahanan. Sementara itu, lembaga ini mengatakan AS harus menangguhkan kerjasama pengumpulan intelijen dengan UAE, dan berhenti memasok senjata.
Amnesty mengatakan bahwa 51 kasus penghilangan paksa terjadi antara Maret 2016 dan Mei 2018. Sembilan belas pria masih hilang, katanya. Amnesty mengatakan telah mengumpulkan kesaksian dari para tahanan yang dibebaskan dan sanak keluarga mereka yang hilang di Yaman.
Seorang mantan tahanan mengatakan kepada Amnesty bahwa tentara UEA di markas koalisi di Aden berulang kali memasukkan objek ke dalam anusnya sampai dia berdarah. Dia juga disimpan di lubang tanah dengan hanya kepalanya di atas permukaan dan harus buang air besar dan buang air kecil di posisi itu.
Tahun lalu, kantor berita Associated Press melaporkan bahwa UEA dan milisi sekutunya menjalankan jaringan fasilitas penahanan rahasia, di luar kendali pemerintah Yaman. Pada bulan Juni, AP mengungkapkan bahwa ratusan tahanan telah mengalami pelecehan dan penyiksaan seksual.
Pada hari Rabu (11/7), Yaman menyerukan Uni Emirat Arab untuk menutup penjara-penjara informal. UAE telah menolak keterlibatan di penjara di Yaman selatan. Pada hari Senin (9/7), Reem al-Hashimi, menteri UAE untuk kerjasama internasional, bertemu dengan Presiden Yaman Abd Rabbu Mansour Hadi dan Menteri Dalam Negeri Ahmed al-Maysari, yang bersikeras perlunya menutup penjara dan menempatkan mereka di bawah kendali yudisial, menurut media negara Yaman.
Negara Teluk telah memainkan peran kunci dalam operasi militer yang dipimpin Saudi sejak 2015 untuk memperkuat Presiden Yaman Abd Rabbu Mansour Hadi terhadap pemberontak Houthi bersenjata. Perang telah menewaskan sekitar 10.000 orang, 2.200 dari mereka anak-anak, dan mendorong negara itu ke jurang kelaparan.