Kamis 26 Jul 2018 16:18 WIB

Wajah Wanita yang Tampar Tentara Israel Jadi Mural

Mural wajah Tamimi dilukis di tembok pemisah Israel.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Ahed Tamimi saat digiring polisi Israel menuju pengadilan militer di  Betunia, Tepi Barat, Rabu (20/12).
Foto: Abir Sultan/EPA
Ahed Tamimi saat digiring polisi Israel menuju pengadilan militer di Betunia, Tepi Barat, Rabu (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Wajah Ahed Tamimi dijadikan mural berukuran raksasa di tembok pemisah Israel di Tepi Barat. Sosok wanita berusia 17 tahun itu telah menjadi simbol perlawanan Palestina terhadap Israel.

Seperti dilaporkan laman Al Araby, mural wajah Tamimi dibuat oleh seniman jalanan asal Italia, Jorit Agoch. Mural berukuran sekitar empat meter itu berada di tembok pemisah Israel di dekat Betlehem di Tepi Barat.

Tamimi telah dijadikan sebagai simbol perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel. Hal itu terjadi sejak video Tamimi yang menampar seorang tentara Israel di depan rumahnya di Tepi Barat pada Desember tahun lalu viral.

Setelah video aksi penamparan itu viral, Tamimi ditangkap otoritas keamanan Israel. Ia kemudian dijatuhi hukuman delapan bulan penjara oleh pengadilan militer Israel. Tamimi diperkirakan akan dibebaska pada Ahad (29/7) mendatang.

Tembok pemisah Israel di Tepi Barat memang kerap dijadikan sebagai media mural dan grafiti oleh berbagai seniman. Pesan yang dikandung karya-karya itu selalu tentang dukungan terhadap perjuangan Palestina.

Baca juga, Perjanjian Damai Israel-Palestina Prakarsa AS Dikritik.

Mural Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tengah berciuman dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pernah tergambar di tembok pemisah Israel di Tepi Barat. Mural itu muncul setelah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017.

Sementara itu, Pemerintah Palestina mengatakan, konsep perjanjian damai negaranya dengan Israel yang didesain AS tak berguna. Hal itu karena dalam konsep tersebut tak dicantumkan lagi pembahasan tentang Yerusalem dan isu pengungsi Palestina.

"Kami tidak tertarik dengan apa yang mereka (AS) usulkan karena Yerusalem sudah tidak ada, (isu) pengungsi tidak ada," kata Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour kepada awak media di markas PBB di New York pada Selasa (24/7), dikutip laman Anadolu Agency.

Ia mengatakan, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) sedang dihancurkan melalui pemangkasan dana bantuan oleh AS, permukiman Yahudi, sedikit atau banyak diterima, kemudian solusi dua negara memudar. "Jika Anda memiliki perilaku seperti itu yang ditunjukkan oleh Pemerintahan AS, apa yang tersisa di atas meja?" ujar Mansour.

"Itu sebabnya kami tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang tidak berguna karena semua hal yang telah mereka umumkan secara sepihak adalah hal-hal yang tidak akan membuka jalan bagi perdamaian dan kemajuan," kata Mansour menambahkan.

Pada Desember tahun lalu, Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut menuai banyak kecaman karena dinilai melanggar berbagai resolusi internasional terkait Kota Suci tersebut.

Setelah diakuinya Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina memutuskan menarik diri dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS. Palestina menilai, AS tak lagi menjadi mediator yang netral karena terbukti membela kepentingan Israel.

Di tengah situasi demikian, AS memutuskan menangguhkan dana bantuan untuk UNRWA. AS hanya mengucurkan dana 65 juta dolar AS dari total 125 juta dolar AS yang disiapkan untuk UNRWA. Langkah itu dianggap sebagai upaya AS menarik kembali Palestina ke dalam perundingan damai yang dimediasinya.

Penangguhan dana bantuan itu tak ayal menyebabkan UNRWA mengalami krisis pendanaan. Sebab, bagaimanapun, AS merupakan penyandang dana terbesar bagi UNRWA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement