REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Akses perjalanan kereta api ke Provinsi Xinjiang, Cina, yang selama ini sangat ketat, ditutup tanpa batas waktu mulai 22 Oktober. Hal itu memicu spekulasi adanya upaya Beijing menutupi keberadaan kamp-kamp tahanan massal untuk warga Muslim Uighur di sana.
Laporan menyebutkan para tahanan Muslim itu sedang dipindahkan ke berbagai penjara di provinsi-provinsi yang jauh. Beberapa waktu terakhir Cina menjadi sorotan internasional karena tindakan keras terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah di China barat laut.
Sekitar 2 juta penduduk - termasuk 1 juta Muslim Uighur (10 persen dari populasi) - telah ditahan di kamp-kamp yang penuh sesak di Xinjiang. Kelompok-kelompok HAM mengatakan tahanan tersebut dipenjara tanpa tuduhan dan dipaksa menjalani pendidikan ulang politik. Penduduk minoritas lainnya hidup dalam kondisi berat, diawasi tak henti-hentinya dan dibatasi ruang geraknya.
Laporan tersebut menyebutkan para tahanan dipindahkan ke provinsi Gansu serta daerah lainnya termasuk Heilongjiang, ribuan kilometer dari sana. Disebutkan, Cina menggunakan taktik itu untuk lebih mengendalikan penduduk Muslim serta mengontrol arus informasi tentang pelanggaran HAM.
James Leibold, spesialis Cina di La Trobe University, mengatakan kecaman dunia atas isu ini telah "mempermalukan" Beijing. Namun, katanya, pemerintah Cina sama sekali tidak berniat mendengarkan desakan dunia internasional untuk mengizinkan pemantau HAM independen memasuki wilayah itu.
"Mereka berencana mempersulit untuk mengetahui apa yang terjadi pada warga Uighur, Kazakh, dan minoritas Muslim lainnya yang menghilang dari rumah dan masuk ke tahanan," katanya.
Menurut laporan Radio Free Asia, transfer para tahanan dimulai awal tahun ini. Laporan penutupan akses kereta api diperkirakan jadi petunjuk meningkatnya operasi tersebut. Koran resmi pemerintah Cina People's Daily mengumumkan penjualan tiket penumpang yang datang dan keluar dari Xinjiang akan ditangguhkan mulai 22 Oktober.
Sumber-sumber di Gansu dan provinsi-provinsi tetangga menyatakan kereta api masih tampak keluar-masuk Xinjiang, tapi mengangkut penumpang yang tidak membayar. Sebuah lokasi wilayah pertanian bernama Li Xin di Gansu telah mendapat perhatian karena disebut-sebut sebagai lokasi pemindahan penduduk Muslim.
Strategi rekayasa budaya dan politik
Dr Leibold menjelaskan penghentian penjualan tiket kereta dan penutupan jalan yang tiba-tiba, menunjukkan adanya upaya untuk memindahkan orang dalam jumlah besar. Radio Free Asia menyatakan 300 ribu tahanan etnis minoritas akan diangkut dalam beberapa minggu mendatang. Sementara tahanan dari propinsi lain akan mengisi kekosongan Penjara di Xinjiang.
"Ini masalah besar secara logistik," ujar David Brophy, peneliti Cina di University of Sydney, kepada ABC.
"Dampaknya bukan hanya pada transportasi keluar-masuk Xinjiang, tetapi juga di sekitarnya," katanya.
Dr Brophy mengatakan pemindahan tahanan dari tempat lain ke Xinjiang mengindikasikan kebijakan ini lebih untuk mengendalikan tahanan Muslim, bukan kepadatan-kepadatan penjara.
Cina tidak pernah mengakui keberadaan kamp-kamp tahanan ini. Mereka berdalih kebijakan kerasnya di Xinjiang untuk melawan terorisme. Wilayah itu dikenal memiliki gerakan separatis yang telah lama.
Dalam tanggapannya kepada ABC, Kedutaan Besar Cina di Australia mengacu pada konferensi pers Kemenlu Cina pada 22 September. Saat itu juru bicara Kemenlu Geng Shuang mengatakan "langkah-langkah yang diterapkan di Xinjiang dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas, pembangunan, solidaritas dan kehidupan masyarakat".
Namun menurut Dr Leibold, pendekatan Beijing terhadap apa mereka disebut sebagai "virus ekstremisme" tampak semakin "radikal". "Strategi ini tampak sebagai upaya rekayasa budaya dan politik terhadap seluruh populasi," katanya.
Rekayasa budaya dan politik tersebut, katanya, merupakan upaya membentuk populasi ini sesuai norma-norma budaya dan politik etnis mayoritas Han di Cina.
Diterbitkan oleh Farid Ma'ruf Ibrahim dari artikel ABC Australia.