REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sedikitnya 150 ribu massa dari berbagai elemen Serikat Buruh turun jalan-jalan di pusat kota Melbourne hari Selasa (23/10), menuntut kenaikan gaji. Demo sebesar itu belum pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Aksi demo secara serentak juga berlangsung di kota-kota besar dan kota pedalaman se-Australia, mengusung satu tema, Change the Rules, yang digagas Australian Council of Trade Unions (ACTU).
Di Melbourne, aksi dimulai dari gedung Trades Hall yang bersejarah, dan bergerak melintasi pusat kota di sepanjang Jalan Swanston Street menuju stasiun utama Flinders Street Station. Sejumlah ruas jalan ditutup, dan layanan trem di Swanston Street juga terhenti.
Menurut Asisten Ketua Serikat Buruh Konstruksi, Kehutanan, Pertambangan dan Energi (CFMEU) Sean Reardon, sistem hubungan industrial di Australia saat ini sudah rusak.
"Jika tidak rusak, kami tidak akan melakukan pawai hari ini," katanya kepada ABC.
Menurut dia, pendulum sistem hubungan kerja ini berayun terlalu jauh ke arah yang menguntungkan para majikan. "Kita tidak mengalami kenaikan gaji dalam sebagian besar industri yang ada," ujarnya.
Ketua ACTU, Sally McManus menegaskan pertumbuhan gaji yang stagnan tidak sejalan dengan meningkatnya biaya hidup sehari-hari.
McManus mengatakan sekitar 28 ribu buruh kini jadi tunawisma padahal mereka bekerja full time. "Gaji minimum di negara kita ini hanya sekitar 37 ribu dolar pertahun (sekitar Rp 370 juta)," katanya.
"Ini jauh dari cukup untuk menopang diri sendiri, apalagi menopang istri dan anak-anak," ujar McManus.
"Gaji ini tak mencukupi di kota-kota kecil, tak mencukupi di kota-kota besar," kata tokoh Serikat Buruh ini.
Menteri Utama (Premier) negara bagian Victoria, Daniel Andrews, tampak ikut turun ke jalan. Menurut dia, rakyat yang hadir dalam aksi itu berasal dari keluarga biasa yang menginginkan kondisi lebih baik.
"Mereka berhak mendapatkan hal itu, sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya," kata politisi Partai Buruh ini.
Menurutnya, terjadi ketidakseimbangan antara keuntungan perusahaan dan kenaikan gaji pegawai, terutama di sektor swasta. Seorang peserta demo bernama Zaina mengaku bekerja di sektor pendidikan dan khawatir dengan gaji yang stagnan.
"Biaya hidup kian meningkat dan gaji tidak naik. Kita perlu berjuang untuk hal itu," katanya kepada ABC.
Menteri Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Australia, Kelly O'Dwyer, dalam artikelnya di salah satu media menilai aksi demo buruh menggambarkan lanskap hubungan industrial yang suram di masa depan. Politisi Partai Liberal itu mengatakan lanskap suram itulah yang akan dialami Australia jika terjadi pergantian pemerintahan pada Pemilu Australia tahun depan.
Australia saat ini diperintah oleh Koalisi Partai Liberal dan Nasional pimpinan PM Scott Morrison. Namun, di Victoria dikuasai oleh Pemerintahan Partai Buruh pimpinan Daniel Andrews.
Menteri O'Dwyer secara retorik menanyakan "Apa yang diinginkan" para demonstran ini. "Mereka menginginkan tidak adanya aturan, tidak adanya pengatur dan tidak adanya pengawasan terhadap mereka," katanya.
"ACTU menginginkan kembalinya hari gelap militansi Serikat Buruh," ujar Menteri O'Dwyer.
"Mereka menginginkan perpecahan dan gangguan di tempat kerja, menginginkan kemampuan melanggar UU industri yang tidak mereka sukai," ujarnya.
Asosiasi pengusaha Australian Industry Group mengatakan aksi demo mengganggu bisnis dan menyerukan semua parpol menolak "kampanye ACTU yang mementingkan diri sendiri".
"Unjukrasa ini bertujuan meyakinkan Partai Buruh agar berkomitmen melakukan perubahan besar terhadap Undang-Undang Fair Work jika mereka menang Pemilu, agar memberikan kewenangan lebih besar kepada Serikat Buruh," ujar CEO Innes Willox.
"Para pemuka Serikat Buruh menganggap tak ada masalah melanggar hukum yang tak mereka sukai. Mengingat sikap seperti ini, sangatlah berbahaya memberikan kewenangan lebih besar bidang ekonomi kepada serikat buruh," ujarnya.