Selasa 18 Dec 2018 21:17 WIB

Suka Belanja Pakaian? Pencemaran Industri Fesyen Memburuk

Komitmen penurunan emisi tidak diiringi pengurangan konsumsi pakaian.

Red: Nur Aini
Pedagang menata pakaian bekas impor yang dijual di arena pasar malam. (ilustrasi).
Foto: Antara/Noveradika
Pedagang menata pakaian bekas impor yang dijual di arena pasar malam. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Bisnis fesyen dunia menjadi sumber efek rumah kaca yang sangat besar. Produksi tekstil mengeluarkan setara dengan 1,2 miliar ton karbondioksida atau CO2 pada 2015.

Jumlah itu hampir sama dengan emisi yang dihasilkan 300 pembangkit listrik tenaga batu bara dalam satu tahun, atau lebih dari dua kali lipat emisi tahunan Australia. Angka itu pun meningkat dengan cepat, misalnya pada Maret, PBB bahkan telah menganggap produksi pakaian sekali pakai yang murah, atau sebutannya 'fast fashion', dalam jumlah yang banyak sebagai "keadaan darurat lingkungan dan sosial".

Keadaan itu dikatakan akan lebih buruk seiring dengan meningkatnya kelas menengah di negara-negara seperti Cina dan India, sehingga mereka mulai membeli lebih banyak pakaian.

Sejumlah merk fesyen ternama, seperti Adidas, Gucci, Zara, dan H&M telah berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka 30 persen pada 2030 dengan bimbingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka menyatakan dalam sebuah Piagam Industri Fashion Untuk Aksi Iklim di acara KTT iklim COP24 PBB di Polandia pekan lalu ini, yang diikuti juga oleh sejumlah merk fesyen dan para pemegang kebijakan lainnya.

Mereka berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 30 persen serta mencapai 15 tujuan lainnya, termasuk secara bertahap tidak lagi menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara mulai tahun 2025.

Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Patricia Epinosa mengatakan piagam ini "penting serta menjadi sebuah "komitmen unik".

"Industri fesyen selalu lebih maju ke depan untuk mendefinisikan budaya dunia," katanya.

"Piagam ini, seperti peragaan busana di dunia, memberikan contoh yang saya harap akan diikuti oleh orang lain."

Tapi piagam ini tidak menyarankan pengurangan konsumsi pakaian. PBB akan "memfasilitasi dan mengoordinasikan" soal iklim untuk industri fesyen, termasuk mengatur lokakarya dan menetapkan sasaran tahunan. Kelompok kerja pertama akan dimulai awal tahun depan.

Selain dari merek-merek utama, para penandatangan mencakup perusahaan logistik global seperti Maersk dan Otto Group. Sementara, badan-badan industri tekstil Cina menjadi "organisasi pendukung".

Dalam sebuah pernyataan, CEO Puma, Bjorn Gulden, mengatakan lebih dari 90 persen karbon dihasilkan dalam rantai pasokan bersama-sama.

"Jika kita ingin mengurangi emisi karbon dalam rantai pasokan, maka perlu bekerja sama dengan rekan-rekan industri lainnya," katanya.

Karl-Johan Persson, CEO H & M, salah satu merek 'fast fashion' terbesar mengatakan piagam itu untuk menyatukan industri fesyen. "Industri kami memiliki jangkauan global dan hanya dengan bersama-sama kita dapat menciptakan perubahan yang sangat dibutuhkan," katanya.

Desainer Stella McCartney meminta agar pihak lain di industri fesyen menandatangani piagam dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi emisi. Mereka yang menandatangani piagam ini adalah: Adidas, Aquitex, Arcteryx, Burberry Limited, Esprit, Guess, Gap Inc., Grup H & M, Hakro Gmbh., Hugo Boss, Inditex (pemilik Zara), Kering Group (pemilik Gucci dan Yves Saint Laurent, dan lainnya), Lenzing AG, Levi Strauss & Co, Mammut Sports Group AG, Dunia Mantis, Maersk, Otto Group, Pidigi SPA, PUMA SE, re: newcell, Schoeller Tekstil AG, Peak Performance, PVH Corp, Salomon, Skunkfunk, SLN Textil, Stella McCartney, Sympatex Technologies, Target, dan Tropic Knits Group.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-18/industri-fesyen-ikut-sumbang-polusi/10631898
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement