Sekitar 90 persen dari pilot perempuan Indonesia yang terdaftar resmi tergolong generasi milenial. Sebagai sosok muda dan bercita-cita tinggi, para pilot milenial ini begitu bersemangat membuktikan kaum perempuan bisa menjalani profesi apapun, terlepas dari anggapan masyarakat.
Ruth Aprillia Cristiani Thie (25) mengaku jatuh cinta pada profesi pilot sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perempuan asal Sorong, Papua Barat, ini -sebenarnya, sudah akrab dengan wujud pesawat terbang sedari kanak-kanak.
"Kan rumah saya dekat bandara, jadi saya sering melihat pesawat. Lalu kalau sore pasti mainnya ke Bandara. Di sorong kan masih bebas ya, nggak seperti di Jakarta yang pengawasannya ketat jadi kita masih bisa main ke Bandara," ceritanya kepada ABC.
Pertemuan dengan pesawat yang begitu intens mulai membangun mimpi Ruth sebagai penerbang.
"Saya membatin 'Wah keren ya bisa jalan-jalan' dan saya memang suka jalan-jalan. Jadi saya berpikir 'wah kalau jadi pilot bisa jalan-jalan gratis'. Dulu berpikirnya ya begitu," tutur pilot berpangkat first officer ini sambil tersenyum.
Ruth hanyalah satu dari 253 perempuan milenial Indonesia yang berprofesi sebagai pilot. Menurut data terbaru dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan Indonesia, dari 277 pilot perempuan yang terdaftar resmi di otoritas ini, sekitar 90 persen-nya adalah generasi milenial.
Sebagai bagian dari generasi muda ini, Ruth mengatakan, banyaknya perempuan sebayanya yang menggeluti profesi pilot bisa jadi disebabkan oleh kepercayaan diri kaum perempuan yang kian hari kian matang.
"Mungkin kaum perempuan sudah merasa bahwa mereka mampu melakukannya. Zaman sudah semakin maju, kita bisa cari tahu kalau pilot perempuan itu sudah banyak. Dari situ mungkin banyak perempuan ingin jadi pilot, dan bisa, kenapa nggak?," ujar pilot Sriwjaya Air ini kepada ABC.
Lain lagi cerita Karina Rosma Sari (32), pilot perempuan milenial yang bergabung dengan maskapai AirAsia Indonesia.
Keinginannya untuk menjadi pilot dimulai dari keluarga.
"Ayah saya pilot, kakak (laki-laki) saya juga pilot," katanya kepada ABC.
Tapi Karina berujar, cita-citanya itu terbentuk bukan atas paksaan.
"Karena dari kecil lihatnya pekerjaan bapak, dari kecil saya ikut bapak terbang kalau lagi libur, jadi mungkin dari kecil sudah terpupuk dari situ," ujar pilot berpangkat senior first officer ini.
Karina menuturkan, keinginannya menjadi pilot juga dipicu oleh sebab lain.
"Saya juga mau membuktikan kalau perempuan itu bisa (jadi pilot), sama seperti laki-laki, dan lagipula, ini sudah zaman modern, siapapun, mau itu perempuan atau laki-laki, berhak menjadi apa saja."
Karin mengaku, ia pernah mengalami kejadian tak menyenangkan seputar profesi yang dijalaninya. Ia mengatakan masih ada beberapa pihak yang meragukan kapasitas perempuan sebagai pilot.
"Setelah terbang, masih di area terminal, saya bertemu dengan penumpang. Melihat saya berseragam pilot, penumpang itu menatap sinis. Dia seperti mau bilang 'Oh pilotnya perempuan toh'," tutur perempuan yang bersuamikan pilot ini.
Ia mengatakan, kaum perempuan tak seharusnya ragu atas kemampuan yang mereka miliki, terutama jika bercita-cita menjalani profesi yang masih didominasi kaum lelaki.
"Sekolahnya sama, kesempatan yang diberikan juga sama. Tidak ada alasan untuk ragu," sebutnya.
Masih kalah jumlah dibanding pilot laki-laki
Meski jumlah pilot perempuan di Indonesia makin hari makin bertambah, nyatanya, jumlahnya masih jauh dibanding pilot laki-laki.
Dikutip dari situs resminya, Asosiasi Pilot Maskapai Perempuan Internasional (ISA) menyebut, dari 155.605 pilot yang ada di seluruh dunia, jumlah pilot perempuan hanya mencapai 8510 orang atau sekitar 5.40 persen. Dan hanya 2411 pilot atau 1,55 persen di antaranya yang berpangkat kapten (capt.).
Di Indonesia sendiri, jumlah pilot perempuan masih di bawah 1 persen dari total jumlah pilot secara keseluruhan.
Menurut Kepala Sub-Direktorat Operasi Pesawat Udara DKPPU, Capt. Boy Mauludin, komposisi pilot perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang ini kemungkinan dikarenakan pertimbangan bisnis.
"Kalau hitungan bisnisnya memang jauh lebih menguntungkan perusahaan jika merekrut pilot laki-laki. Kenapa? pilot perempuan ada peluang untuk cuti hamil, kemudian kalau menstruasi, sesuai Undang-Undang, pilot perempuan bisa mengajukan cuti 2 atau 3 hari tergantung kebijakan maskapai," jelasnya kepada ABC (20/12).
Ia lantas mengimbuhkan, "(Cuti) Itu semua dibayar oleh maskapai. Karena itu mungkin mereka lebih mempertimbangkan pilot laki-laki."
Sementara itu, pilot perempuan senior Indonesia, Capt. Widiastuti, berpendapat lain. Kesenjangan antara jumlah pilot perempuan dengan jumlah pilot laki-laki disebutnya karena faktor penguasaan informasi.
"Faktornya mungkin ketidaktahuan. 'Oh perempuan bisa jadi pilot?'. Mungkin tidak percaya diri juga, karena dipikir tinggi (badan)-nya pilot itu harus menjulang," sebut pilot dengan pengalaman 35 tahun ini.
Meski demikian, Capt.Tuti, begitu ia akrab disapa, mengaku gembira dengan animo kaum perempuan saat ini terhadap profesi pilot. Apalagi bila dibanding dengan eranya kala masih sekolah dahulu.
Muda atau tua, tak bergantung pula pada jenis kelaminnya, bagi perempuan yang kini menjadi instruktur penerbang ini, prinsip menjadi pilot tetaplah sama.
"Disiplin dan tidak berhenti belajar. Itu selalu yang saya pesankan. Disiplin dan disiplin."
"Saya suka bilang, teringat waktu sekolah di Curug dulu, motonya 'the sky is the vast place but there is no room for error' (langit itu luas tapi tak boleh ada kesalahan). Itu benar sekali, karena sekecil apapun kesalahan bisa buat kita celaka. Tiap kali terbang itu yang selalu saya cam-kan," kata pemilik sekolah penerbangan di Jakarta ini.