Sabtu 19 Jan 2019 22:58 WIB

Rompi Kuning Melanjutkan Unjuk Rasa Pekan Kesepuluh

Lima ribu personel dikerahkan di seluruh penjuru ibu kota.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Pengunjuk rasa rompi kuning.
Foto: EPA-EFE/CAROLINE BLUMBERG
Pengunjuk rasa rompi kuning.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Ribuan orang yang menamakan diri mereka aktivis rompi kuning kembali menggelar demonstrasi di seluruh kota di Prancis. Pada Sabtu (19/1)  menjadi unjuk rasa pekan kesepuluh aktivis rompi kuning sejak gerakan protes kenaikan pajak bahan bakar dimulai pada November tahun lalu.

Di Paris ribuan pengunjuk rasa menjawab undangan untuk melakukan pawai yang dimulai dari monumen Invalides, tempat Napoleon dimakamkan.

Para pengunjuk rasa mengkritik tindakan polisi yang menembakan peluru karet sehingga puluhan orang terluka.  "Tidak normal untuk memperlakukan orang seperti bagaimana kami diperlakukan, setiap hari Sabtu selalu ada yang terluka," kata Juliette Rebet, salah satu pengunjuk rasa, Sabtu (19/1).

Baca juga, Demonstran Rompi Kuning: Ada Ketidakadilan Sosial di Prancis.

Di monumen Invalides pengunjung rasa berbaris di depan makam dan membentangkan banner yang bertuliskan "Rakyat dalam bahaya". Mereka juga membawa peti mati untuk mengenang orang-orang yang tewas selama demonstrasi ini digelar.

Paris menyebar lima ribu petugas polisi di seluruh penjuru ibukota. Terutama di sekitar gedung pemerintahan dan kantor kepresidenan Prancis, Champs-Elysees dimana kekerasan sering kali terjadi. Sebanyak 80 ribu petugas kepolisian di tugaskan seluruh Prancis.

Unjuk rasa yang terkadang berubah jadi kerusuhan sudah terjadi selama lebih dua bulan terakhir. Presiden Prancis Emmanuel Macron sudah meluncurkan grand debate atau perdebatan nasional untuk meredakan amarah para pengunjuk rasa.

Unjuk rasa akar rumput ini berawal dari protes kenaikan harga bahan bakar. Tapi meluas menjadi masalah perekonomian lainnya. Gerakan ini sempat berhenti ketika liburan Natal dan Tahun Baru. Tapi jumlah pengunjuk rasa pekan lalu naik menjadi 80 ribu orang dari sebelumnya hanya 50 ribu orang.

Macron menghadapi sejumlah tuntutan yang sangat luas. Mulai dari memberlakukan pajak kekayaan yang dikenal ISF untuk orang-orang kaya di Prancis sampai implementasi pemungutan suara yang mengizinkan rakyat untuk mengajukan undang-undang baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement