Sabtu 09 Feb 2019 23:30 WIB

Konferensi Bahas Krisis Rohingya Digelar di New York

Militer dituding sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis tersebut.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebuah konferensi untuk membahas masalah keadilan terhadap pengungsi Rohingya digelar di James Room Bernard College di Colombia University, New York, Amerika Serikat (AS) pada Jumat (8/2) dan Sabtu  (9/2). Konferensi itu dihadiri para ahli hukum internasional, diaspora, aktivis hak asasi manusia (HAM), termasuk pengungsi Rohingya.

Konferensi tersebut diinisiasi oleh Free Rohingya Coalition (FRC). Tujuannya adalah mengupas segala permasalahan yang berkaitan dengan keadilan dan hak para pengungsi Rohingya. 

Presiden the Burmese Rohingya Organization yang berbasis di Inggris Tun Khin adalah salah satu tokoh yang menghadiri konferensi tersebut. Tun menyoroti perihal pertanggungjawaban yang harus dipikul para pelaku pembantaian Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada Agustus 2017. 

"Orang-orang di kamp-kamp (pengungsi) menginginkan keadilan. Ini adalah hal pertama yang mereka katakan kepada saya," kata Tun dalam konferensi tersebut, dikutip Aljazirah. 

"Jika tidak ada pertanggungjawaban, penindasan (terhadap Rohingya) akan terus berlanjut. Mengapa militer berhenti jika mereka tahu tidak akan ada konsekuensi atas tindakan mereka," ujar Tun manambahkan. 

Dia pun turut menyinggung tentang proses repatriasi pengungsi dari Bangladesh ke Myanmar. Menurutnya, bila para pengungsi harus kembali ke Rakhine, keselamatan mereka harus dijamin. "Kami menghadapi ancaman eksistensial," katanya. 

Gregory Stanton dari Genocide Watch mengungkapkan minoritas Rohingya di Myanmar terus menghadapi intimidasi dan penindasan. Mereka yang mengalami persekusi juga harus dipulihkan traumanya agar mampu menjalani kehidupannya lagi. 

Sama seperti Tun, Stanton menuding militer sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis tersebut. "Ambil nama mereka (para perwira militer), kumpulkan bukti, karena mereka akan muncul (pada akhirnya)," ujar Stanton. 

Selain Tun dan Stanton masih terdapat beberapa tokoh serta aktivis yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee juga sempat memberi sambutan dalam sebuah pesan video yang direkam sebelumnya. 

Krisis Rohingya terjadi pada Agustus 2017, yakni ketika militer Myanmar memburu anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Pemburuan itu turut menyasar warga sipil Rohingya. Operasi militer menyebabkan lebih dari 700 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh. 

Saat ini, setelah melalui proses cukup panjang, Myanmar dan Bangladesh telah memulai repatriasi para pengungsi. Namun PBB dan sejumlah negara masih melayangkan kritik kepada Myanmar dan meminta proses repatriasi dihentikan.

Alasannya adalah karena PBB menilai repatriasi belum dilakukan atas dasar sukarela. Selain itu, situasi dan kondisi di Rakhine belum sepenuhnya kondusif. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement