Senin 08 Apr 2019 03:12 WIB

Kenang 25 Tahun Genosida, Rwanda Berkabung 100 Hari

Presiden Rwanda Paul Kagame memimpin upacara berkabung dengan menyalakan api.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Israr Itah
Presiden Rwanda Paul Kagame (kedua kiri) menyalakan api tanda berkabung di Rwanda.
Foto: PA-EFE/DAI KUROKAWA
Presiden Rwanda Paul Kagame (kedua kiri) menyalakan api tanda berkabung di Rwanda.

REPUBLIKA.CO.ID, RWANDA -– Rwanda akan berkabung selama 100 hari ke depan. Ini dilakukan untuk mengenang dan menghormati lebih dari 800 ribu orang yang tewas akibat genosida.

Hari berkabung itu dimulai, Ahad (7/4). Presiden Rwanda Paul Kagame memimpin upacara berkabung dengan menyalakan api di Monumen Genosida Kigali. Di mana lebih dari 250 ribu korban genosida diperkirakan dikubur di sana. Api peringatan tersebut akan menyala selama masa berkabung.

“Pada tahun 1994, tidak ada harapan, hanya kegelapan. Hari ini, cahaya memancar dari tempat ini,” kata Kagame dalam pidatonya di Kigali Convention Center, dikutip BBC, Ahad (7/4).

Ia menyebut, ketahanan dan keberanian para korban genosida mewakili karakter Rwanda dalam bentuk yang paling murni. Kagame mengatakan, lengan rakyat Rwanda yang terjalin merupakan pilar bangsa. 

"Kita saling mendukung, tubuh dan pikiran kita menanggung bekas luka, tetapi tidak satu pun dari kita yang sendirian. Bersama-sama kita telah menenun jalinan ikatan persatuan kita menjadi permadani baru. Roh juang hidup di dalam kita. Apa yang terjadi di sini tidak akan pernah terjadi lagi,” imbuhnya.

Usai memberikan pidato, Kagame dijadwalkan akan memimpin acara di Stadion Nasional Amahoro. Dalam acara itu dihadiri pula oleh sejumlah pemimpin asing. Seperti Perdana Menteri Charles Michel yang mewakili bekas penguasa kolonial Belgia, dan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker.

Namun, Presiden Prancis Emmanuel Macron tidak turut hadir dalam acara itu. Kehadirannya diwakili oleh Herve Berville, seorang anggota parlemen kelahiran Rwanda. Pekan ini Macron akan menunjuk tim ahli untuk menyelidiki peran Prancis dalam genosida tahun 1994 itu.

Dalam genosida yang bersejarah itu telah menewaskan sebagian besar warga dari suku minoritas Tutis dan Hutu moderat. Mereka diduga dibunuh oleh ekstremis etnis Hutu.

Prancis adalah sekutu dekat pemerintah yang dipimpin Hutu sebelum pembantaian. Negara itu juga dituduh mengabaikan tanda-tanda peringatan dan melatih para milisi yang melakukan serangan.

Awal peristiwa genosida itu terjadi pada 6 April 1994. Presiden Juvenal Habyarimana tewas setelah pesawat yang ia tumpangi ditembaki ketika melintas di Ibu Kota Rwanda. Ia diketahui merupakan etnis Hutu. Penembakan itu menewaskan semua penumpang pesawat.

Namun, ekstremis Hutu justru menyalahkan kelompok pemberontak Tutsi, Front Patriotik Rwanda (RPF). Mereka membantah tuduhan itu.

Salah satu milisi yang berperan dalam pembantaian itu adalah sayap pemuda partai yang berkuasa saat itu, yakni Interahamwe. Mereka berupaya menemukan warga suku Tutsi, menghasut kebencian melalui siaran radio dan melakukan pencarian dari rumah ke rumah. Dalam kurun waktu tiga bulan, lebih dari 800 ribu orang tewas dibantai.

Meskipun begitu, tidak banyak yang dilakukan secara internasional untuk menghentikan pembunuhan tersebut. PBB dan Belgia memiliki pasukan di Rwanda, tetapi misi PBB tidak diberi mandat untuk bertindak. Belgia dan sebagian besar pasukan penjaga perdamaian PBB pun mundur.

Genosida tetap membayangi masyarakat Rwanda hingga kini dan pembicaraan mengenai etnis tetap hal yang ilegal. Namun, saat ini, Rwanda telah pulih secara ekonomi sejak dipimpin oleh Presiden Kagame. Ia berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat sebesar 7,2 persen pada tahun 2018 dan kemajuan teknologi melalui kebijakan yang ia buat.

Laki-laki berusia 61 tahun itu memenangkan jabatan sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya dalam pemilihan pada 2017 silam dengan perolehan suara mencapai 98,63 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement