REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Penguasa militer Sudan menangkap dua saudara lelaki mantan presiden Sudan Omar al-Bashir, Rabu (17/4). Saat ini ratusan orang menggelar protes di ibu kota Khartoum.
Mereka menyerukan penyerahan kekuasaan dengan cepat ke kepemimpinan sipil. Juru bicara dewan militer transisi, Shams al-Din Kabashi mengatakan, Abdullah al-Bashir dan Alabas al-Bashir telah ditahan. Ini dilakukan sebagai bagian dari kampanye penangkapan yang berkelanjutan terhadap pemimpin rezim sebelumnya.
Pengumuman itu datang saat sumber mengatakan pemerintah Sudan telah memindahkan al-Bashir. Awalnya dari tahanan rumah ke penjara Kobar di Khartoum utara.
Seorang mantan menteri Sudan mengatakan kepada AP, al-Bashir, yang digulingkan oleh militer, dipindahkan ke penjara keamanan maksimum pada Selasa malam. Ia turun dari jabatannya setelah berbulan-bulan protes terhadap kekuasaannya yang hampir mencapai 30 tahun.
"Saya melihat Presiden Omar al-Bashir dibawa bersama puluhan perwira tentara," kata seorang penjaga di penjara Kobar mengonfirmasi kepindahan, dilansir di Aljazirah, Kamis (18/4).
Tidak ada komentar resmi tentang keberadaan pemimpin yang digulingkan itu. Militer menyatakan tidak akan mengekstradisi pemimpin yang digulingkan ke Pengadilan Kejahatan Internasional. Ini terkait dengan menghadapi tuduhan kejahatan perang, dan genosida di wilayah Darfur.
Sementara itu, ratusan orang bergabung dalam pawai oleh para dokter dan petugas kesehatan selama berhari-hari di luar markas tentara. Banyak yang mengenakan jubah putih, mengibarkan bendera Sudan, dan berorasi.
"Kebebasan, perdamaian, keadilan dan revolusi adalah pilihan rakyat," ujar kerumunan yang berorasi.
Di samping itu, para wartawan juga mengadakan rapat umum terpisah di Khartoum yang menyerukan kebebasan pers. Seorang mahasiswa kedokteran Aya Abdel Aziz (22 tahun) mengatakan dia memutuskan bergabung dalam protes untuk menuntut hak perempuan.
Dia juga menuntut pemerintahan diambil alih sipil. Protes dimulai dari University of Khartoum. "Permintaan kami adalah perempuan memiliki wakil di dewan transisi sipil," ujarnya.
Gelombang demonstrasi nasional yang tak kunjung usai dalam empat bulan terakhir telah membuat al-Bashir harus mengundurkan diri dari jabatannya. Ia yang telah memimpin Sudan sejak 1989 melalui sebuah kudeta militer pernah mendapat tuntutan dari ICC setelah aksinya mengerahkan pasukan militer di Darfur, Sudan Barat, di mana konflik berlangsung di wilayah itu sejak 2003.
Pascapengunduran diri al-Bashir, dibentuklah dewan transisi yang dikepalai Jenderal Ibn Auf, yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan. Dia mengatakan dewan militer akan memerintah selama dua tahun. Selain itu, Ibn Auf memberlakukan jam malam dan memutuskan menangguhkan konstitusi.
Rakyat Sudan tak dapat menerima hal itu karena dianggap tak sejalan dengan semangat reformasi yang mereka suarakan. Di sisi lain, mereka memandang Ibn Auf sebagai tokoh yang memiliki kedekatan dengan al-Bashir. Rakyat Sudan pun melanjutkan aksi demonstrasinya. Mereka bersumpah tidak akan berhenti melakukan aksi protes hingga semua tuntutannya terpenuhi.
Gelombang desakan akhirnya membuat Ibn Auf memutuskan mundur dari posisinya sebagai kepala dewan transisi militer. Jabatan tersebut hanya dia emban selama sehari, kemudian diserahkan kepada Letjen Abel Fattah Burhan. Saat ini, Burhan sedang berupaya memenuhi semua tuntutan rakyat Sudan, termasuk membersihkan pemerintahan dari tokoh-tokoh yang menjadi bagian dari rezim al-Bashir.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA), sebuah kelompok yang mempelopori pemberontakan rakyat telah mengeluarkan daftar tuntutan untuk perubahan besar, yang bertujuan mengakhiri represi dan meredakan krisis ekonomi di negara itu setelah militer menggulingkan al-Bashir. Beberapa waktu lalu, tiga jaksa penuntut umum senior Sudan juga telah dipecat dari jabatan sebagai bagian dari langkah menuju pemerintahan sipil.
Sejumlah negara yang tergabung dalam Uni Afrika juga menyerukan Dewan Transisi Militer untuk segera menyerahkan kekuasaan kepada otoritas transisi sipil yang dipimpin dalam waktu 15 hari. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka organisasi supranasional tersebut mengatakan ada risiko Sudan dikeluarkan dari keanggotaan.