Kamis 02 May 2019 08:54 WIB

Pakar Australia: Jokowi Harus Lebih Berani Reformasi Ekonomi

Sejumlah ekonom Australia memuji konsolidasi ekonomi era Presiden Jokowi.

Red:
abc news
abc news

Indonesia dinilai perlu melakukan reformasi ekonomi yang lebih luas jika hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Presiden Joko Widodo - jika ditetapkan sebagai pemenang pemilu Presiden 2019- didorong untuk lebih berani dan tidak terjebak dalam tren globalisasi di termin kedua kepemimpinannya.

Sejumlah pakar ekonomi dari Australian National University (ANU) menyampaikan penilaian tersebut saat membahas tantangan ekonomi pemerintahan baru Indonesia pasca-pemilu dalam forum "The 4th Thee Kian Wie lecture Series" yang digelar oleh Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Forum Kajian Pembangunan ANU Indonesia Project dan ISEAS Singapura di Jakarta Selasa (30/4/2019).

Profesor Hal Hill dari ANU College of Asia and the Pacific mengapresiasi sejumlah pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ia memuji konsolidasi demokrasi dan perekonomian Indonesia yang semakin menguat serta sosok Joko Widodo yang dinilainya bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Namun menurutnya jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara lain di Asia, Joko Widodo menurutnya masih perlu menggenjot kinerja pemerintahannya lebih keras.

"Jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi India, China dan Vietnam, ekonomi negara-negara itu maju lebih cepat dibandingkan Indonesia, oleh karena mungkin reformasi ekonomi di sana lebih besar," katanya.

Profesor Hal Hill mencontohkan kinerja ekspor Indonesia untuk sejumlah komoditi andalan Asia di pasar global seperti elektronik, pakaian dan alas kaki jauh tertinggal dari kinerja ekspor Vietnam padahal Vietnam baru masuk dalam perdagangan global 15 tahun terakhir.

 

Ia menilai Presiden Joko Widodo di termin kedua pemerintahannya - jika ditetapkan sebagai pemenang dalam Pemilu Presiden 2019 - perlu melakukan reformasi ekonomi yang lebih besar dari yang sudah dia lakukan di era pertama pemerintahannya.

Seperti menciptakan lingkungan usaha yang baik bagi investasi dan juga kebijakan investasi asing yang lebih kompetitif.

Terkait hal itu, Hal Hill berharap Joko Widodo tidak terjebak dalam tren ekonomi global yang lebih protektif.

"Pak Jokowi tampak ambivalen menyikapi ekonomi global. Saya kira dia tidak perlu takut. Saya kira Indonesia tidak perlu takut dengan ekonomi global karena setiap kali ada globalisasi, Indonesia terbukti bisa maju lebih cepat. Karena ketika Indonesia semakin terbuka, negaranya akan menjadi lebih dinamis." katanya.

Proteksionisme vs nasionalisme

Pendapat senada juga diungkapkan Ketua ANU Indonesia Project, Dr Arianto Patunru.

Ia menilai sengitnya persaingan antara kedua kandidat dalam pilpres 2019 telah membuat isu nasionalisme ekonomi menjadi sorotan.

Ini menimbulkan tantangan baru di dalam negeri bagi pemerintahan selanjutnya, yakni menyeimbangkan antara desakan mengutamakan nasionalisme ekonomi dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Arianto mengatakan merujuk pada pendekatan yang dilakukan Jokowi selama ini yang cenderung ambivalen, pragmatis dalam menyikapi isu global seperti proteksionisme, Ia berharap di termin kedua pemerintahan Jokowi akan mampu lebih bersikap pragmatis.

"Kalau pragmatisme positifnya bisa mengalahkan populisme proteksinya Jokowi jempol. Karena dia punya potensi, dia punya keberanian untuk melakukan hal-hal yang tidak populis. Seperti waktu dia menghapuskan subsidi BBM," kata Arianto Patunru.

Arianto Patunru mencontohkan tantangan dalam menyikapi pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri dengan perlindungan petani padi.

"Misalnya pada kasus impor beras, jika dia batasi impor, sementara produksinya di dalam negeri tidak cukup. Maka yang terjadi harga beras akan naik. Kita tahu 80% orang di Indonesia itu konsumen bukan produsen."

"Maka harga beras yang mahal ini akan memukul mereka apalagi masyarakat yang paling miskin dan itu akan memicu inflasi."

"Karena itu jika Jokowi tidak hati-hati terhadap mikro managemen seperti itu akan mempengaruhi prestasinya karena inflasi tinggi orang tidak akan mampu beli macam-macam." tambahnya.

Sementara itu pengamat kebijakan publik ANU, Chris Manning menyoroti tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia mendatang di sektor sumber daya manusia.

Menurutnya Jokowi di era pemerintahannya yang baru perlu memprioritaskan upaya untuk meningkatkan kemampuan angkatan kerja muda.

"Jokowi harus melakukan sesuatu di bidang 'skill development' dan memperbaiki kualitas dan keahlian lulusan sekolah menengah dan sarjana agar mereka bisa mendapat pekerjaan." kata Chris Manning.

Menurutnya hal ini penting mengingat tingkat pengangguran berpendidikan di Indonesia masih tinggi dan bahkan tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara.

"Indonesia sudah terlalu lama menyandang gelar itu. Indonesia harus mampu memanfaatkan generasi mudanya, Indonesia harus memanfaatkan bonus demografinya."

Agenda pembangunan jangka panjang

 

Forum yang digelar untuk menghormati mendiang peneliti ekonomi senior LIPI, Thee Kian Wie yang ke-empat kalinya ini juga turut menghadirkan mantan Wakil Presiden Boediono sebagai pembicara utama.

Dalam pemaparannya Boediono mengatakan Indonesia perlu mencontoh pendekatan yang dilakukan oleh negara-negara di Asia Timur yang sukses memajukan perekonomian nasionalnya seperti Jepang, Korea, Taiwan, Singapura dan Hongkong.

"Negara di Asia Timur ini sukses melakukan pembangunan di negaranya dengan berfokus pada 3 hal yakni membenahi sektor pendidikan untuk tingkatkan kualitas SDM, membenahi kualitas birokrasi agar pemerintahan berjalan baik dan infrastruktur." papar Boediono.

Lebih lanjut Boediono mengatakan negara-negara maju di Asia itu membangun ketiga sektor tersebut secara serius dan berkesinambungan sehingga akhirnya mampu menciptakan kontribusi yang bermakna bagi pembangunan ekonomi di negeri mereka.

Menurut Boediono ketiga fokus tersebut sudah masuk dalam agenda pembangunan jangka panjang Indonesia, namun menurutnya pelaksanaannya belum maksimal.

"Pembangunan di ketiga sektor ini sifatnya jangka panjang, tidak cukup hanya 5 tahun. Misalnya reformasi birokrasi di Singapura itu dampaknya baru terasa 10-15 tahun kemudian. Jadi ini tantangan buat kita, untuk bisa konsisten dan serius membangun tiga pra syarat tersebut." katanya.

"Kita perlu rencana baku dan komitmen politik yang kuat untuk melaksanakan ketiga agenda ini. Ini yang tampaknya belum berfungsi di Indonesia." katanya.

Simak berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement