Pemerintah Australia menolak untuk menepati janjinya kepada seorang pengungsi eks Nauru yang dimukimkan di Kamboja. Empat orang anak dari pengungsi asal Suriah ini kini tidak bersekolah.
Pengungsi Eks Nauru di Kamboja:
- Abdullah Zalghani adalah satu dari tiga pengungsi eks Nauru yang ditempatkan di Kamboja oleh Australia
- Dia menyebut Australia berjanji membayarkan biaya pendidikan dan kesehatan anak-anaknya
- Depdagri Australia menyatakan pengungsi yang ditempatkan di sana telah mendapat bantuan memadai
Tiga tahun lalu, pengungsi bernama Abdullah Zalghani setuju untuk dipindahkan dari Nauru ke Kamboja. Saat itu Australia membuat kesepakatan dengan Kamboja untuk penempatan pengungsi dengan biaya 55 juta dolar.
Zalghani setuju ikut dalam program ini dan menandatangani pernjanjian dengan pemerintah Australia.
Menurut dokumen yang diperoleh ABC, perjanjian ini menjamin "anak-anak usia sekolah akan dimasukkan ke sekolah swasta di Phnom Penh, hingga empat tahun setelah kedatangan mereka".
Empat orang anak Zalghani akhirnya tiba di Phnom Penh bersama ibu mereka pada bulan Desember 2018.
Tapi ketika keluarga ini ingin mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah setempat, mereka diberitahu bahwa Australia tidak akan memenuhi janjinya.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) yang diberi 15,5 juta dolar oleh Australia untuk memberikan layanan kepada pengungsi, menyampaikan kabar tersebut kepada Zalghani.
"Mereka memberitahu saya bahwa program antara IOM dan Pemerintah Australia telah selesai," kata Zalghani kepada ABC.
Perjanjian pemukiman kembali pengungsi antara Australia dan Kamboja ditandatangani Scott Morrison, Menteri Imigrasi pada tahun 2014. Perjanjian ini pada September 2018.
Departemen Dalam Negeri Australia yang kini membawahi imigrasi menyatakan tidak akan mengomentari kasus perkasus.
"Mereka yang dimukimkan di Kamboja telah diberikan dukungan memadai, termasuk finansial, perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan dan dipertemukan kembali dengan keluarga," kata jurubicara Depdagri.
Ditambahkan, setelah periode tertentu, para pengungsi ini tidak lagi memerlukan atau memiliki akses dukungan dari Australia.
Anak-anak Zalghani yang berusia antara 10 dan 16 tahun, sebelumnya tinggal di kamp pengungsi di Lebanon.
"Kami tidak bersekolah dan saya merasa diri saya buruk," kata Nour (16 ), salah satu anak Zalghani.
"Tolong bantu kami, kami tidak bisa tinggal di sini," katanya.
Menurut Zalghani, janji Australia memberikan asuransi kesehatan kepada keluarga ini "hingga lima tahun" juga telah ditarik kembali.
Miskomunikasi
Zalghani adalah satu dari hanya tiga pengungsi yang dimukimkan di Kamboja secara permanen. Dua pengungsi eks Nauru lainnya yaitu satu Suriah dan satunya lagi dari Rohingya.
Empat pengungsi lainnya yang tadinya juga dimukimkan di Kamboja, telah memutuskan kembali ke negara asal mereka.
Pihak IOM menolak mengomentari kasus yang dialami Zalghani.
Namun ABC memperoleh rekaman yang dibuat oleh Zalghani, mengenai pertemuan dengan manajer IOM Brett Dickson pada 3 April 2019.
Pihak IOM saat itu memberitahu Zalghani bahwa janji mengenai "sekolah swasta" mungkin merupakan "miskomunikasi" oleh Australia.
Pada 26 April, IOM telah menutup penampungan sementara di Phnom Penh, mengembalikan barang-barang Zalghani dalam kantong sampah.
ABC mendapatkan informasi bahwa semua dukungan IOM untuk tiga pengungsi eks Nauru di sana akan berakhir pada Juni 2019.
Zalghani menjelaskan, dia setuju pindah ke Kamboja setelah lebih tiga tahun di kamp imigrasi di Pulau Christmas dan Nauru.
Dia mengaku dijanjikan akan dipersatukan kembali dengan istri dan anak-anaknya beberapa bulan setelah tiba di Phnom Penh. Tapi hal itu ternyata butuh dua tahun.
Warga Suriah ini menandatangani "perjanjian paket penempatan di Kamboja" dengan pihak berwenang Australia pada September 2016.
Dokumen ini menyebutkan bahwa keluarga ini menerima pembayaran 60.000 dolar, ditambah dukungan lainnya dari IOM.
Zalghani mengatakan komitmen Australia menyediakan pendidikan sekolah swasta dan asuransi kesehatan untuk anak-anaknya adalah alasan utama dia setuju dengan perjanjian ini.
Restoran Timur Tengah
Dengan uang yang diterima Zalghani untuk memulai kembali hidupnya di Kamboja, dia membuka restoran Timur Tengah di Phnom Penh.
Tapi usahanya ini mengalami kesulitan dan bulan lalu dia menjualnya ke warga setempat dengan "harga murah". Kini dia bekerja di sana sebagai koki.
Dengan gaji bulanan 638 dolar, dia harus membayar sewa tempat tinggal di atas restoran itu. Sisanya sekitar 350 dolar untuk biaya hidup keluarganya.
Ketika ABC mengunjungi keluarga Zalghani, tampak anak-anaknya duduk lesu di tempat tidur mereka sambil menonton dan bermain internet.
Zalghani mengatakan dia hanya ingin Pemerintah Australia menepati janjinya.
"Di Kamboja sini, kotanya menyenangkan, orang-orangnya baik. Tetapi jika anak-anak saya tidak sekolah, tidak punya asuransi kesehatan, itu sangat buruk," kata Zalghani.
Banyak sekolah lokal yang murah namun kualitasnya buruk, sedangkan sekolah swasta top sangat mahal, seperti Sekolah Internasional Phnom Penh.
Keluarga Zalghani sekarang berharap Kanada bisa menerima mereka.
"Saya bisa bekerja, saya bisa melakukan apa saja. Tetapi di sini sulit, anak-anak saya tidak bisa sekolah," kata Zalghani kepada ABC.
"Pemerintah Kanada tolonglah. Perdana Menteri Kanada, tolong bantu kami," ujarnya.
Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.