Pemerintah Brunei Darussalam tampaknya mundur dari rencana menerapkan undang-undang baru yang menjadikannya sebagai negara pertama di Asia Timur yang menghukum mati homoseksual. Tapi kenyataannya lebih kompleks.
Pada bulan April lalu, negara kecil di Asia Tenggara tersebut meluncurkan fase terakhir dari Perintah Hukum Pidana Syariah (SPCO) yang kontroversial, sebuah interpretasi ketat soal hukum Islam atau syariah, dengan menganjar pelaku sodomi, perzinahan dan pemerkosaan dengan hukuman mati dalam bentuk rajam.
Tetapi setelah kampanye yang digencarkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, beserta pemerintah negara Barat dan sejumlah selebritas, Sultan Hassanal Bolkiah, yang juga Perdana Menteri negara itu, secara mengejutkan mengumumkan pada hari Minggu setelah beberapa minggu bahwa pemerintahannya akan memperpanjang moratorium hukuman mati menjadi pelanggaran berdasarkan undang-undang hukum pidana yang baru.
"Saya menyadari bahwa ada banyak pertanyaan dan kesalahan persepsi terkait dengan implementasi SPCO. Namun, kami percaya bahwa setelah ini diselesaikan, manfaat hukum akan jelas," katanya dalam pidato untuk menandai dimulainya bulan suci Ramadan.
"Sebagai bukti selama lebih dari dua dekade, kami telah mempraktekkan moratorium de facto atas eksekusi hukuman mati untuk kasus-kasus berdasarkan hukum biasa. Ini juga akan diterapkan pada kasus-kasus di bawah SPCO yang memberikan ruang lingkup yang lebih luas untuk pengurangan."
Meskipun mempertahankan hukuman mati dalam aturan hukum, Brunei tidak melakukan eksekusi selama beberapa dekade.
Di saat undang-undang anti-gay yang keras tetap ada, pengamat telah berjuang untuk membongkar apa yang mungkin mendorong klarifikasi yang tiba-tiba dan sangat umum. Berikut ini beberapa kemungkinannya.
Brunei bertindak sebelum peninjauan PBB
Pengumuman Sultan muncul sebelum tampilnya Brunei di hadapan Peninjauan Umum Periodik di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, hari Jumat ini, dimana negara-negara anggota memeriksa catatan hak asasi manusia suatu negara selama empat tahun terakhir.
Empat hari setelah SPCO diperkenalkan, Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Pehin Yusof menulis surat ke Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) untuk membela kebijakan tersebut, mengklaim bahwa hukum pidana syariah "lebih fokus pada pencegahan daripada hukuman".
"Tujuannya adalah untuk mendidik, mencegah, merehabilitasi, dan memelihara daripada menghukum," bunyi suratnya.
"Ini berusaha untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara melindungi hak-hak orang yang dituduh dan hak-hak para korban dan keluarga mereka."
Sejumlah negara, termasuk Australia, telah mengajukan keprihatinan dengan Brunei atas penerapan hukum pidana, yang juga dikecam oleh Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet dengan menyebutnya sebagai "kejam".
Brunei, yang sampai sekarang membela undang-undang baru ini, kemungkinan akan menghadapi teguran pada tinjauan PBB hari Jumat.
Menurut Paula Gerber, direktur Pusat Hukum Hak Asasi Manusia Castan, "Sultan sepertinya terlihat mengatakan 'kami sudah berubah pikiran tentang ini, kami sekarang tidak akan menerapkan hukuman mati '. "
"Tapi kita seharusnya tidak bertepuk tangan dan bersorak, karena dia belum mencabut hukuman itu," katanya kepada ABC.
"Masih merupakan kejahatan untuk menjadi gay di Brunei, masih merupakan kejahatan untuk melakukan perzinahan, untuk melakukan aborsi."
Adakah kekuatan selebritas atau kepentingan ekonomi?
Selebritas terkemuka termasuk George Clooney, Elton John dan Ellen DeGeneres telah memimpin boikot terhadap sebuah grup hotel mewah yang dimiliki oleh Brunei Investment Company, termasuk Beverly Hills Hotel California dan The Dorchester di London.
"Suara kita lebih keras dari yang kamu kira," tweet DeGeneres setelah pengumuman Sultan pada hari Minggu.
"Jaga agar tetap nyaring".
Boikot serupa dijalankan pada 2014, ketika Brunei pertama kali mengumumkan peluncuran undang-undang tersebut.
Tapi di saat selebritas memuji keberhasilan tekanan baru-baru ini, pada akhirnya ada kekhawatiran soal menghalangi investasi asing yang mendorong langkah Brunei.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Brunei telah berupaya mendiversifikasi ekonominya yang bergantung pada minyak dan menarik investasi asing yang lebih besar dalam upaya memperkuat negaranya di masa depan jika minyak habis.
Namun demikian, menurut Economist Intelligence Unit, upaya-upaya ini hanya akan menikmati "keberhasilan terbatas" dan sektor energi akan "terus mendominasi ekonomi", dengan ramalan PDB riil Brunei akan tumbuh hanya 1,4 persen pada 2019-2020.
Brunei telah berusaha untuk meningkatkan pariwisata, tetapi dengan STA Travel berhenti untuk menjual tiket dan mitra Royal Brunei Airlines lainnya di bawah tekanan untuk memutuskan hubungan, rencana tersebut berisiko.
London juga menghapus iklan yang mempromosikan Brunei sebagai tujuan wisata dari jaringan transportasi umum kota.
Aturan anti-gay akan tetap berlaku
Meski hukuman mati tidak diterapkan, pria yang berhubungan seks dengan pria lain masih bisa dihukum hingga 100 cambukan atau hukuman penjara yang lama di Brunei.
Sementara itu, lesbi bisa terancam pencambukan hingga 40 kali dan dipenjara selama 10 tahun.
Hukuman serupa tetap berlaku untuk perzinahan dan pemerkosaan, sementara perempuan juga bisa dibui karena melahirkan saat belum menikah, atau melakukan aborsi.
Menurut Amnesty International, eksekusi yang diketahui terakhir di Brunei adalah pada tahun 1957 tetapi setidaknya satu orang dijatuhi hukuman mati pada 2017 karena pelanggaran narkoba.
Kerstin Steiner, associate professor dan pejabat kepala sekolah hukum Universitas La Trobe, mengatakan moratorium Brunei mengenai hukuman mati dapat dibatalkan kapan saja.
"Masalah moratorium adalah hukuman itu bisa dijalankan kembali. Karena Sultan adalah raja absolut, maka prosesnya akan sangat, sangat mudah," kata Dr Steiner.
Kantor Perdana Menteri Brunei tidak menanggapi saat dimintai komentar.