REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Di tengah proses rekapitulasi suara Pemilu 2019 di Indonesia, di Australia sendiri sedang berlangsung masa kampanye untuk Pemilu Federal yang akan digelar pada 18 Mei mendatang. Bagaimana Australia mengatasi potensi kecurangan pemilu seperti yang kini diributkan di Indonesia?
Salah satu perbedaan yang cukup menonjol terlihat dalam hal ketentuan mengenai identitas seorang pemilih dalam memberikan suaranya. Menurut UU Pemilu Persemakmuran, pemilih Australia tidak diwajibkan untuk menunjukkan kartu identitas diri saat mengikuti proses pemungutan suara.
KPU Australia (AEC) memang menyadari adanya potensi kecurangan dimana seorang pemilih berpeluang untuk memilih lebih dari satu kali. Hal ini pun sudah menjadi perhatian Parlemen, sebagaimana dikatakan Phil Diak dari AEC.
"Masalah identitas pemilih ini beberapa kali menjadi bahan pembahasan dalam komite Parlemen," katanya.
Bahkan, setelah Pemilu Federal tahun 2016, sebuah komite Parlemen merekomendasikan perubahan UU Pemilu dengan mewajibkan pemilih menunjukkan kartu ID saat memberikan suara. UU yang berlaku saat ini hanya mewajibkan pemilih memverifikasi identitas mereka di saat melakukan pendaftaran sebagai pemilih - atau di saat memperbarui pendaftarannya tersebut.
Warga yang sudah memenuhi syarat akan menjadi "Wajib Pilih", karena mereka memang akan diwajibkan memberikan suara dalam pemilu - tidak boleh Golput.
Laporan ABC menyebutkan, seorang pemilih bernama John dari Queensland mengaku bahwa dia sama sekali tak ditanyai kartu identitas saat datang ke TPS.
"Saya tak diminta menunjukkan SIM saya," katanya, merujuk pada kartu identitas yang umum digunakan warga di sini.
Warga lainnya Jude Maecham dari Australia Selatan dan Alice Glover dari Victoria menanyakan bagaimana mendeteksi terjadinya pemilih yang memberikan suara berkali-kali.
Menurut Phil Diak, belum ada bukti terjadinya pemilih yang memberikan suaranya berkali-kali secara terorganisir.
"Namun petugas KPU akan memeriksa dan membandingkan daftar pemilih pada akhir pemungutan suara," ujarnya.
"Kami memperbandingkan seluruh daftar pemilih di akhir pemungutan suara. Kami akan identifikasi setiap orang yang bukan pemilih di tempat itu atau pemilih dobel yang mungkin memilih dua kali," kata Diak.
Jika petugas KPU atau KPPS itu mencurigai adanya pemilih yang memilih lebih dari sekali, mereka akan dihubungi dan diperiksa untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bila ada bukti, KPPS kemudian merujuk masalahnya ke Australian Federal Police (AFP) dan yang bersangkutan terancam denda berat atau hukuman penjara.
Dalam Pemilu 2013, sebanyak 7.700 kasus dilaporkan ke AFP, namun tak satu pun yang dijadikan tersangka.
"Kami menindaklanjuti hal ini. Jika hal itu berisiko pada perolehan kursi dan dibawa ke Peradilan Hasil Pemilu, maka pemilih ganda atau pemilih berkali-kali akan jadi bukti pendukung," kata Phil Diak.
Perbedaan lainnya dengan Indonesia, pemilih di Australia tidak mencoblos kertas suara, melainkan memberi nomor 1,2,3, dst pada nama-nama calon di kertas suara.
Bahkan untuk proses memberi nomor ini pun pihak KPU hanya menyediakan pensil, bukan pulpen. Dan tak disiapkan penghapus!
Menurut UU Pemilu, KPU harus menyediakan alat tulis berupa pensil bagi pemilih di TPS. Namun pemilih yang ingin membawa alat tulis lain seperti pulpen, tidak dilarang.
KPU beralasan bahwa penggunaan pensil ini lebih murah, dan bisa dipakai berkali-kali (petugas KPPS sudah menyiapkan serutan pensil), dan bisa dipakai lagi untuk pemilu berikutnya.
Namun, KPU tidak menyediakan alat penghapus - sehingga bukan hal aneh jika pemilih yang keliru menulis pilihannya akan meminta kertas suara baru.
Proses rekapitulasi
Masalah rekapitulasi atau penghitungan hasil pemungutan suara selalu menjadi titik paling krusial dalam pemilu dimana-mana, termasuk di Australia. Begitu proses ini mulai dilaksanakan, ada petugas khusus yang sudah dilatih oleh KPU, yang diberi tugas memantau penghitungan dan memastikan keaslian seluruh surat suara.
Karena Pemilu di sini menganut sistem preferensi, maka proses penghitungannya jauh lebih rumit daripada sistem pemilu di Indonesia. Pemilih memberikan suara dengan cara memberi nomor urut pada caleg-caleg yang ingin dipilihnya, maka yang pertama dihitung adalah seluruh suara caleg yang mendapatkan nomor 1 di kertas suara.
Jika ada caleg di suatu Dapil yang mendapatkan nomor 1 lebih dari setengah total suara sah, maka yang bersangkutan langsung dinyatakan sebagai caleg terpilih di Dapil itu.
Untuk setiap Dapil, hanya akan diwakili satu kursi, sehingga dari setiap Dapil hanya ada satu caleg yang akan duduk di DPR. Pihak yang mendeklarasikan kemenangan seorang caleg disebut Divisional Returning Officer (DRO) alias Petugas Hasil Penghitungan dari KPU.
Petugas KPPS KPU Australia memisahkan dan menghitung seluruh surat suara Nomor 1 untuk seluruh caleg dari surat suara penuh atau "formal ballot papers".
Sedangkan surat suara yang tidak lengkap disebut sebagai "informal ballot papers" dan akan dihitung terpisah. Hasil perolehan suara Nomor 1 "formal" untuk setiap caleg kemudian disampaikan melalui sambungan telepon ke DRO bersama dengan hasil suara "informal".
Angka perolehan hasil suara ini selanjutnya dientri ke dalam Ruang Tabulasi (Tally Room) pada website AEC dan diteruskan ke pihak media massa. Perolehan suara dari setiap TPS, akan langsung dientri ke tabulasi nasional di website KPU. Jadi tidak ada proses penghitungan berjenjang - yang sangat berisiko dicurangi.
Pembaruan hasil perolehan suara pun akan dilakukan begitu ada informasi baru yang masuk dari setiap TPS. Dengan kata lain, Pemilu di Australia tidak mengenal segala macam formulir, seperti Formulir C1, yang kini lagi naik daun di Indonesia.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.