Selasa 14 May 2019 18:19 WIB

UU Anti-Berita Palsu Singapura Ancam Kebebasan Berbicara

RUU itu memiliki hukuman maksimal satu dekade penjara dan denda Rp 10 miliar.

Red:
abc news
abc news

Pemerintah Singapura telah meloloskan rancangan undang-undang kontroversial yang ditargetkan untuk menghapus 'berita palsu' dan disinformasi, dan ini memberi kewenangan luas bagi otoritas setempat untuk mengawasi postingan online, termasuk yang ada dalam aplikasi pesan terenkripsi.

Poin utama:

• Singapura bergabung dengan Rusia dan Vietnam dalam memberlakukan undang-undang berita palsu

• RUU itu memiliki hukuman maksimal satu dekade penjara dan denda $ 1 juta (atau setara Rp 10 milyar)

• Pemerintah menegaskan Singapura tetap menjadi "negara yang sangat terbuka"

 

Para kritikus mengatakan legislasi, yang dikenal sebagai UU Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Online, adalah undang-undang yang paling luas jangkauannya di dunia dan mengancam untuk lebih membatasi kebebasan media dan berbicara di Singapura.

RUU, yang memiliki hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda $ SG1 juta (atau setara Rp 10 milyar), ini akan mulai berlaku dalam beberapa minggu mendatang.

David Kaye, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak atas kebebasan berekspresi, menulis kepada Pemerintah Singapura pada akhir April untuk menyampaikan kekhawatirannya bahwa undang-undang tersebut akan "berfungsi sebagai dasar untuk menghalangi penyampaian ekspresi yang sepenuhnya sah, terutama debat publik, kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan perbedaan pendapat politik".

Dalih keselamatan masyarakat

Mayoritas anggota Parlemen Singapura, dengan hasil voting 72-9, mendukung RUU, yang diloloskan pada 8 Mei, itu. Partai Buruh yang menjadi oposisi mengatakan bahwa pemerintah memiliki "agenda tersembunyi" untuk menekan warga biasa.

Undang-undang tersebut mewajibkan platform seperti Google, Facebook, dan Twitter - yang memiliki kantor pusat Asia di Singapura - untuk menghapus postingan yang dianggap mengandung kepalsuan oleh pihak berwenang.

 

Yang paling kontroversial, undang-undang itu tak hanya berlaku untuk forum online tetapi juga pesan pribadi yang dikirim melalui platform pesan terenkripsi seperti WhatsApp dan Telegram. Belum jelas bagaimana aspek hukum ini akan ditegakkan.

Wartawan yang berbasis di Singapura, Kirsten Han, mengatakan kepada ABC bahwa pemerintah di sana tampaknya "tidak mau mempertimbangkan amandemen."

Pemerintah telah membela RUU itu, dengan mengatakan aturan itu perlu dan bahkan bermanfaat untuk kebebasan berbicara.

Menteri Dalam Negeri Singapura, Kasiviswanathan Shanmugam, mengklaim sanksi pidana hanya akan berlaku dalam kasus pembagian informasi palsu yang disengaja.

"Meneruskan postingan yang tak disengaja tidak akan menyebabkan tanggung jawab pidana," katanya seperti dikutip oleh surat kabar Singapura, The Straits Times.

"Kami adalah negara yang sangat terbuka ... [tetapi] kami harus menetapkan batas yang tepat yang akan memungkinkan kami untuk melindungi kebebasan berbicara dan memungkinkan orang untuk bertukar informasi, pemikiran dan pendapat dengan cara yang bermakna," kata Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, kepada televisi lokal dalam sebuah wawancara pada akhir April.

The Straits Times mendukung rancangan undang-undang tersebut dalam tajuk rencana yang menyatakan bahwa undang-undang itu "menyediakan lingkungan yang waspada untuk menjaga masyarakat aman dari para pelaku kejahatan".

"Pemberlakukan hukuman masih harus berlaku bagi mereka yang terlibat dalam penipuan yang disengaja, menggunakan pemalsuan untuk merusak kepercayaan terhadap struktur dan institusi sosial," tambahnya.

Dampak internasional

Kelompok kebebasan pers dan hak asasi manusia telah mengutuk RUU berita palsu itu.

 

Aliansi Pers Asia Tenggara mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ada kemungkinan undang-undang itu akan "diterapkan secara sewenang-wenang dan disalahgunakan oleh mereka yang ditugaskan untuk mengimplementasikannya".

Singapura berada di peringkat 151 dari 180 negara yang masuk dalam Indeks Kebebasan Pers 2019 versi Reporters Without Borders (RSF), di bawah Rusia.

"Dengan bentuk yang ada saat ini, hukum Orwellian ini menetapkan 'klaim kebenaran' yang akan bebas untuk membungkam suara-suara independen dan memaksakan kehendak partai yang berkuasa," kata Daniel Bastard, kepala desk RSF di Asia-Pasifik.

"Kami mengutuk RUU ini dengan argumen sekuat mungkin karena, baik dalam bentuk maupun substansi, itu menimbulkan hambatan yang tak bisa diterima terhadap arus bebas informasi yang diverifikasi secara jurnalistik."

Jeff Paine, direktur pelaksana Koalisi Internet Asia, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa "undang-undang itu memberi Pemerintah Singapura keleluasaan penuh atas apa yang dianggap benar atau salah".

 

"Sebagai undang-undang yang paling luas jangkauannya dari jenisnya sampai saat ini, tingkat jangkauan yang terlalu jauh ini menimbulkan risiko signifikan terhadap kebebasan berekspresi dan berbicara, dan bisa memiliki konsekuensi parah baik di Singapura maupun di seluruh dunia," katanya.

RUU baru ini berlaku untuk semua konten online, yang berarti bahwa warga Australia atau jurnalis asing lainnya yang melaporkan Singapura, secara teoritis, bisa ditindak karena mendistribusikan 'berita palsu'.

Namun Han mengatakan penduduk setempat lebih berisiko, dengan alasan undang-undang tersebut mewakili "cara lain yang bisa digunakan melawan kritik dan aktivis, dan yang bisa melanggengkan budaya sensor yang sudah ada di Singapura".

Negara tetangganya, yakni Malaysia, juga telah menerapkan hukum serupa di bawah mantan Perdana Menteri Najib Razak, yang kemudian dicabut pada Agustus 2018 di bawah penggantinya, Mahathir Mohamad.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement