Islam dan Tionghoa seringkali dipandang sebagai dua identitas yang tidak sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia. Banyak Muslim memiliki anggapan tertentu mengenai etnis Tionghoa, begitu pula sebaliknya.
Poin utama:
- Tidak ada satu cara tunggal dalam berislam yang dipraktekkan Muslim Tionghoa Indonesia
- Sejarah identitas Tionghoa Muslim di Indonesia memiliki lima periode yang berbeda
- Identitas Tionghoa agak sulit dilepaskan karena hal itu erat kaitannya dengan pertalian keluarga
Dalam bukunya "Berislam ala Tionghoa", Muslim Tionghoa Hew Wai Weng menguraikan sejarah dan latar belakang bersatunya dua identitas itu dalam diri seorang Tionghoa dan bagaimana corak keberislaman mereka di Indonesia.
Salah satu narasumber dalam buku ini Syafi'i Antonio, cendekiawan Muslim keturunan Tionghoa.
"Orangtua saya, seperti kebanyakan orang Tionghoa Indonesia, memegang penilaian negatif tentang Islam. Bagi mereka, Islam berhubungan erat dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Itulah yang membuat mereka menolak saya dan saya harus meninggalkan rumah ketika memutuskan masuk Islam," demikian penuturan Syafi'i Antonio kepada Wai Weng.
Syafi'i (52), yang memiliki nama asli Nio Gwan Chung, adalah pebisnis dan intelektual Tionghoa Muslim. Pria yang juga duduk di Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI), ini terlahir dari keluarga Konghucu. Sebelum menjadi mualaf di usia 17 tahun, Syafi'I pernah memeluk Nasrani.
Penolakan yang diterima Syafi'i dari keluarga lambat laun berubah.
"Setelah saya merampungkan pendidikan doktoral saya dan menunjukkan karir yang cemerlang, anggota keluarga saya mulai menerima keputusan saya," akunya.
Ia mengatakan bahwa kini, saudara laki-laki kandungnya sendiri bahkan berkonsultasi kepadanya tentang keterampilan bisnis.
"Meski mereka belum masuk Islam, mereka memiliki penilaian yang lebih baik tentang Islam sekarang," ujar Syafi'i.
Doktor bidang perbankan dan ekonomi Islam dari Melbourne University ini tidak berbicara dalam bahasa Mandarin, pun mempraktekkan unsur budaya Tionghoa dalam kesehariannya.
Dalam penuturannya kepada Wai Weng, Syafii berharap agar pendakwah Tionghoa bisa melampaui identitas etnis mereka.
Kisah Syafi'I hanyalah satu dari beberapa Tionghoa Muslim yang menjadi subyek penelitian Wai Weng dalam bukunya.
Tokoh lain yang menjadi sumber Wai Weng adalah Anton Medan, mantan narapidana (napi) narkoba yang dulunya juga terkenal sebagai preman dan kerapkali keluar-masuk penjara akibat tindakan kriminalnya.
Anton, yang bernama Tionghoa 'Tan Hok Liang', masuk Islam tahun 1992, setelah bebas untuk terakhir kalinya dari jeruji besi. Berbeda dari Syafi'I, pria yang bernama Muslim 'Muhammad Ramadan Effendi' ini fasih berbicara Hokkian dan sedikit Mandarin.
Anton juga sudah dijauhi keluarga bahkan sebelum ia memeluk Islam dan hijrah ke Jakarta, tepatnya ketika ia bebas dari masa hukuman pertamanya di Medan.
Ia pernah membuat geger publik karena mengunjungi keluarga napi Bom Bali, Amrozi dan Imam Samudera, sebelum keduanya dieksekusi tahun 2008.
Anton juga mendeklarasikan diri sebagai penasehat bagi Front Pembela Islam (FPI) serta menjadi ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Kisah Syafi'i Antonio dan Anton Medan mewakili keberagaman identitas Muslim Tionghoa yang ditampilkan Wai Weng dalam bukunya.
Penulis dan peneliti Tionghoa asal Malaysia itu menyampaikan bahwa tidak ada satu cara tunggal dalam berislam yang dipraktekkan Muslim Tionghoa Indonesia. Bahkan dalam urusan mengelola masjid.
"Setiap masjid Tionghoa punya cerita yang sangat berbeda. Ada yang dipegang orang Tionghoa, ada yang dipegang orang NU, ada Muhammadiyah. PKS juga ada. Jadi beragam," ujar Wai Weng dalam diskusi "Berislam ala Tionghoa" di Jakarta, pekan lalu, yang membedah karyanya itu.
Di era pasca reformasi, Muslim Tionghoa juga banyak yang terjun ke politik dengan bergabung ke partai.
"Di Jatim (Jawa Timur) PKB, di Jogja PAN, di Jakarta PKS. Mereka ikut politik," kata Wai Weng.
Studi lapangan yang menjadi latar diterbitkannya "Berislam ala Tionghoa" sendiri dilakukan Wai Weng di tahun 2008-2009.
Bermulanya identitas Muslim Tionghoa
Wai Weng menjelaskan, sejarah identitas Tionghoa Muslim di Indonesia memiliki lima periode yang berbeda, dimulai dari abad 15-16, kemudian masuk ke periode kolonial Belanda, era 1900an hingga kemerdekaan, periode Orde Baru serta pasca Orde Baru.
Tiap periode memiliki karakter yang berbeda. Periode abad 15 misalnya, Muslim Tionghoa terlibat dalam penyebaran Islam di Jawa. Sementara di era Orde Baru, di mana etnis Tionghoa terdiskriminasi secara sistematis dan dikaitkan dengan komunisme China, kondisinya jauh berbeda.
"Untuk menghindari tuduhan sebagai komunis atau eksklusif, banyak orang Tionghoa melakukan konversi ke agama-agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia," tulis Wai Weng di halaman 65 "Berislam ala Tionghoa".
Identitas Muslim Tionghoa, kata peneliti dari Universiti Kebangsaan Malaysia ini, kala Orde Baru muncul sebagai identitas peralihan.
Menurut peneliti etnis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Thung Ju Lan, pergeseran warga Tionghoa di Indonesia terhadap agama pada rezim Soeharto sangat dipengaruhi oleh sikap Pemerintah terhadap etnisnya, bukan agamanya.
"Seperti yang Wai Weng katakan, Tionghoa itu tidak punya lokal. Seperti yang kita tahu, Indonesia itu punya pandangan tentang konsep etnisitas itu punya hubungan dengan daerah."
"Jadi ada etnis Jawa ya di Jawa, Papua ya di sana, tapi orang China, di mana di Indonesia?" sebut Thung.
Sementara itu, antropolog lulusan Univeristas Nasional Australia (ANU), Muhammad Adrin Sila mengatakan, di era Orde Baru ada desakan terbuka agar warga etnis Tionghoa berasimilasi dengan penduduk asli yang salah satunya diwujudkan dengan beralihnya mereka ke agama samawi.
"Apakah harus menjadi Muslim? Itu tidak menjadi solusi satu-satunya agar supaya etnis Tionghoa itu bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia."
"Karena ternyata di kalangan Muslim sendiri ada keberagaman di dalam keberislaman mereka. Berislam itu hanya satu cara untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat Indonesia," jelas peneliti di Kementerian Agama ini.
Tak memutus hubungan keluarga
Thung menjelaskan identitas Tionghoa agak sulit dilepaskan karena hal itu erat kaitannya dengan pertalian keluarga. Dalam beberapa aspek, budaya China yang dipraktekkan etnis Tionghoa dan kental dengan ajaran Konghucu, bertentangan dengan agama samawi.
Namun pertentangan itu tak membuat seorang Tionghoa yang telah memeluk agama samawi terputus benar-benar dari keluarganya.
"Jarang di keluarga China itu bisa dikeluarkan 100 persen hanya karena beda agama," kata Thung.
Hubungan keluarga yang putus di etnis Tionghoa, sejak dahulu, terjadi ketika seorang anak sudah melakukan kejahatan yang memalukan orangtua.
"Tetapi kalau agama 'kan enggak, jadi seringkali dimaafkan kembali. Memang hubungan keluarga sulit diputuskan."
"Jadi kalau kita ngomong tentang variasi keagamaan, tergantung hubungannya di keluarga. Ketaatan dia sebenarnya kepada keluarganya."
Kalau keluarganya tidak dekat mungkin dia akan lepas, itu yang menyebabkan mungkin dia menjadi Muslim yang total," ungkap Thung.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.