Jumat 07 Jun 2019 02:59 WIB

Keluarga Indonesia Terancam Dideportasi dari Australia Karena Autisme Anak

Dr Cameron Gordon, seorang profesor di ANU, mengajukan petisi online.

Red:
abc news
abc news

Seorang anak asal Indonesia Dimas Tri Wibowo mengalami kemajuan pesat sebagai anak dengan autisme, tapi usaha keluarganya untuk dapat visa menetap permanen di Australia ditolak karena kondisi Dimas dianggap bisa membebani layanan kesehatan dan masyarakat.

Terancam dideportasi karena autisme

Dr Cameron Gordon, seorang profesor di Australian National University (ANU) mengajukan petisi online kepada Menteri Imigrasi, Kewarganegaraan, Layanan Migran, dan Urusan Multikultural Australia agar menganulir keputusan penolakan visa tinggal permanen untuk Dimas, seorang anak dengan autisme dari keluarga Indonesia yang terancam dideportasi.

Muhammad Dimas Tri Wibowo masih berusia 3,5 tahun ketika pindah ke Canberra, Australian Capital Territory (ACT) karena ibunya, Yuli Rindyawati menempuh program doktoral bidang ekonomi di University of Canberra pada tahun 2009.

Cameron Gordon adalah pengawas utama Yuli ketika menjalani program doktoral.

Selain untuk belajar, Yuli memboyong keluarganya ke Australia untuk memberi kesempatan pada anak-anaknya mengenal Australia seperti dia yang pernah belajar di Sydney pada tahun 1997 hingga 2000.

Di sydney, Yuli bertemu Heri Prayitno dan kemudian menikah serta memiliki tiga anak, yaitu Adela Ramadhina yang sedang kuliah di University of Canberra, Ferdy Dwiantoro yang kini kelas 11, dan Dimas.

 

Ketika akan mendaftar ke sekolah dasar, Dimas disinyalir berkebutuhan khusus.

"Saya dan suami diminta untuk mengikuti berbagai macam pengujian dan wawancara untuk mendiagnosa kondisi Dimas. Setelah melalui berbagai tes dan wawancara, psikiater mendiagnosa Dimas dalam kondisi autisme," kata Yuli kepada Alfred Ginting dari ABC Indonesia.

Kemudian oleh dokter spesialis anak dari Community Paediatric and Child Health Service ACT Dimas mendapatkan rujukan untuk masuk ke Malkara (special) School.

Kemajuan pesat tanpa menghabiskan banyak biaya

Selama belajar di Malkara, Dimas mengalami banyak kemajuan terutama di bidang musik dan aktivitas di meja.

Beberapa kemajuan Dimas yang signifikan di antaranya, mengikuti instruksi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, melakukan pekerjaan rumah seperti membuang sampah, mencuci piring, berkomunikasi melalui visual PECS (picture exchange communication).

"Di tahun ke-4 sekiolah, Dimas sudah bisa menggunakan toilet sehingga tidak lagi menggunakan popok, bisa bersepeda, bisa mengerjakan puzzle. Tahun ke-5 dia bisa mengenal huruf, terutama namanya. Dia mulai bisa bersosialisasi dengan keluarga di rumah, berangkat ke sekolah naik bis, bersikap tenang kalau dibawa ke supermarket dan tempat-tempat umum lainnya," jelas Yuli.

"Begitu besar perubahan Dimas mulai prilaku yang awalnya sulit untuk kami kontrol, sehingga suatu hari kami pernah kehilangan Dimas di supermarket, sampai kemudian dia belajar bagaimana bersikap di tempat perbelanjaan," kata Yuli.

Melihat kemajuan yang dicapai Dimas selama sekolah hampir 10 tahun, Yuli dan keluarganya memutuskan untuk mengajukan visa tinggal permanen di Australia lewat jalur graduate skilled visa pada tahun 2016.

"Ini bukanlah keputusan yang mudah, karena keluarga besar di Indonesia meminta kami untuk kembali ke Tanah Air," kata Yuli.

Setelah menjalani tes kesehatan, Dimas dinyatakan tidak lolos.

"Kondisi autismenya dianggap Public Interest Criteria (PIC), menurut peraturan Imigrasi, berbiaya signifikan terhadap layanan kesehatan dan masyarakat Australia," kata Yuli.

Australia menjalankan sistem jaminan layanan kesehatan dan kesejahteraan, termasuk untuk warga berkebutuhan khusus yang berhak mendapat tunjangan dari lembaga Centrelink.

Yuli mengajukan banding atas putusan Imigrasi ke Administrative Appeal Tribunal (AAT) dan Dimas diberi kesempatan untuk tes kesehatan lagi.

Dari hasil tes kesehatan yang kedua, kondisi autisme Dimas turun dari tingkat severe (parah) menjadi moderate, dan kemampuan komunikasi Dimas meningkat dari non-verbal menjadi tertunda bicara (speech delay).

Namun dengan semua dokumen pendukung yang diserahkan ke AAT, pengajuan visa permanen oleh Yuli masih ditolak dengan alasan yang sama dengan Departemen Imigrasi.

Kondisi Dimas dinyatakan tetap berbiaya signifikan terhadap masyarakat Australia.

Hanya perlu sekolah sampai usia 18 tahun.

Dokter dalam pemeriksaan kesehatannya menyatakan Dimas hanya perlu melanjutkan sekolah sampai umur 18 tahun.

Kini Dimas belajar di Woden School yang setara SMA, dan ia sudah mengenal angka, uang kertas dan koin Australia.

Dimas juga mampu mengikuti semua instruksi secara verbal, mampu berkomunikasi secara verbal kepada keluarganya, dan juga mampu memecahkan persoalan yang ia hadapi.

"Dulu Dimas tidak suka dengan suara dari penyedot debu. Kalau suami saya pakai vacuum cleaner, Dimas lari ketakutan dan sembunyi di dalam toilet," kenang Yuli.

"Suatu hari saya melihat sendiri, dia menonton di youtube video cara menggunakan vacuum cleaner. Video itu diulang terus hingga suatu hari ketika suami saya membersihkan karpet, Dimas mendekat dan memegang vacuum cleaner kemudian menggerakannya."

Menurut Yuli hal-hal seperti itu mungkin tidak berarti bagi keluarga yang tidak mempunyai anak-anak berkebutuhan khusus.

"Namun perkembangan seperti itu yang membuat kami merasa Dimas lebih baik melanjutkan kehidupannya di Australia," kata Yuli.

Disiapkan untuk tidak membebani pembayar pajak

Dengan kemajuan kondisi Dimas, layanan yang akan dia terima kalau mendapat visa permananen menjadi berkurang.

Yuli juga mendalami berapa estimasi dana disabilitas yang akan diterima Dimas seandainya dia mendapat visa permanen untuk mengetahui sejau apa kondisi Dimas akan membebani layanan masyarakat.

"Setelah dihitung oleh staf Centrelink Dimas hanya akan memperoleh AU$ 100 per dua minggu. Itupun tidak otomatis diberikan karena akan ada peninjauan dan hanya akan diberikan kalau keluarga mengajukan permohonan," kata Yuli.

"Selama 10 tahun saya dan suami yang menanggung seluruh biaya kesehatan Dimas. Alhamdulillah selama membesarkan Dimas tidak banyak menghabiskan biaya karena pembawaan Dimas tenang, tidak ada tantrum, dan punya sikap positif, tidak dalam pengobatan dan mudah."

 

Upaya terakhir yang ditempuh Yuli adalah intervensi dari menteri imigrasi, dengan petisi online yang diajukan Cameron Gordon.

Sampai hari Kamis (6/6/2019) sore waktu Australia, petisi itu sudah didukung oleh lebih dari 1400 orang.

"Hasil petisi akan kami serahkan ke Menteri untuk menjadi bahan pertimbangan," kata dia.

Yuli merasa di Australia lebih tersedia dukungan untuk mempersiapkan Dimas ketika usianya sudah legal masuk dunia kerja sebagai pekerja yunior, yaitu pada tahun 2021.

"Saya menyewa terapis pribadi untuk melakukan on the job training buat Dimas yang sudah dimulai dari tahun 2018. Kesempatan bekerja adalah hal yang cukup langka bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti dia," kata Yuli.

"Kalau bisa bekerja berarti Dimas akan berkontribusi terhadap masyarakat dengan menjadi bagian dari angkatan kerja dan pembayar pajak, bukan membebani pajak."

Simak berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement