Senin 10 Jun 2019 13:25 WIB

Hukum Ekstradisi Bisa Rusak Reputasi Hong Kong

Hukum ekstradisi memungkinkan tersangka yang melakukan kejahatan dikirim ke Cina.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Seorang demonstran melindungi dirinya dari polisi Hong Kong saat protes menentang hukum ekstradisi di Hong Kong, Senin dini hari (10/6).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Seorang demonstran melindungi dirinya dari polisi Hong Kong saat protes menentang hukum ekstradisi di Hong Kong, Senin dini hari (10/6).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ribuan orang berkumpul di Hong Kong untuk memprotes hukum ekstradisi yang diusulkan. Hukum tersebut akan memungkinkan tersangka yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan pemerkosaan, dikirim ke Cina daratan, Taiwan, dan Makau untuk diadili.

Hong Kong akan memegang keputusan akhir apakah akan memberikan permintaan ekstradisi tersebut. Tersangka yang terlibat kejahatan politik dan agama tidak akan diekstradisi. Seorang mahasiswa, Ivan Wong mengatakan, hukum tersebut akan mempengaruhi reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional.

Baca Juga

"Rancangan Undang-Undang (RUU) ini tidak hanya akan mempengaruhi reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional, tetapi juga sistem peradilan kami. Itu akan berdampak pada masa depan," ujar Wong dilansir BBC, Senin (10/6).

Menanggapi protes tersebut, juru bicara pemerintah menyatakan, RUU ekstradisi itu berdasarkan pada aturan hukum. Adapun, pembahasan kedua terhadap RUU di Dewan Legislatif akan dilanjutkan pada Rabu (12/6) mendatang.

Pemerintah Hong Kong telah berusaha meyakinkan masyarakat dengan beberapa konsesi, termasuk menyerahkan buronan dengan hukuman maksimum setidaknya tujuh tahun. Kelompok hak asasi manusia menyatakan, para tersangka akan dikenakan penahanan yang sewenang-wenang, peradilan yang tidak adil, pengakuan paksa, dan masalah akses pengacara di Cina.

Pemerintah menyatakan, RUU tersebut akan memberikan perlindungan yang memadai termasuk perlindungan terhadap hakim lokal yang independen sebelum ada persetujuan dari kepala eksekutif Hong Kong. Pemerintah Hong Kong memastikan tidak akan ada penganiayaan, penyiksaan politik atau agama, dan hukuman mati dalam RUU ekstradisi tersebut.

"Kami terus mendengarkan berbagai pandangan dan pendapat, kami juga terbuka untuk menerima saran," ujar seorang pejabat pemerintah yang tidak disebutkan namanya.

RUU ekstradisi tersebut dibuat setelah seorang pria Hong Kong berusia 19 tahun diduga membunuh pacarnya yang berusia 20 tahun saat mereka berlibur bersama di Taiwan pada Februari tahun lalu. Pria itu melarikan diri dari Taiwan dan kembali ke Hong Kong pada tahun lalu.

Para pejabat Taiwan telah meminta bantuan dari otoritas Hong Kong untuk mengekstradisi pria tersebut. Namun, pejabat Hong Kong menyatakan, mereka tidak dapat melakukannya karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Taiwan.

photo
Ribuan orang berkumpul di Hong Kong memprotes hukum ekstradisi yang diusulkan, Ahad (9/6).

Di sisi lain, pemerintah Taiwan menyatakan tidak akan mengekstradisi tersangka pembunuhan di bawah perubahan yang diusulkan. Mereka mendesak Hong Kong menangani kasus ini secara terpisah.

Aksi protes di Hong Kong pada Sabtu (9/6) lalu memberikan tekanan kepada Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dan pendukung resminya di Beijing. Diperkirakan aksi protes kali ini jumlahnya melampaui aksi pada 2003, yakni 500 ribu orang.

"Dia (Lam) harus menarik RUU dan mengundurkan diri. Seluruh Hong Kong menentang dia," kata anggota parlemen veteran Partai Demokrat James To kepada kerumunan di luar parlemen kota dan markas pemerintah pada Ahad malam.

Aksi protes berubah menjadi kekerasan pada Senin dini hari, ketika para pengunjuk rasa bentrok dengan sejumlah polisi di luar gedung parlemen. Para pengunjuk rasa memaksa masuk ke gedung Dewan Legislatif, sehingga polisi harus menembakkan semprotan merica sebagai peringatan. Namun, kekacauan tersebut akhirnya dapat diredakan.

Para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Eropa telah mengeluarkan peringatan resmi. Bisnis internasional dan kelompok hak asasi manusia khawatir, perubahan RUU itu akan merusak aturan hukum di Hong Kong.

Hong Kong merupakan bekas jajahan Inggris yang diserahkan kembali ke pemerintahan Cina pada 1997, dan memiliki prinsip 'satu negara, dua sistem'. Hong Kong memiliki undang-undang sendiri, dan penduduknya menikmati kebebasan sipil.

Hong Kong telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan 20 negara, termasuk Inggris dan AS. Tetapi tidak ada perjanjian ekstadisi yang telah dicapai dengan Cina daratan, meskipun negosiasi sedang berlangsung dalam dua dekade terakhir. Para pengkritik mengaitkan kegagalan tersebut dengan perlindungan hukum yang buruk bagi para terdakwa berdasarkan hukum Cina.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement