Rabu 26 Jun 2019 14:27 WIB

Aktivis Hong Kong Minta RUU Ekstradisi Diangkat di KTT G-20

Para pengunjuk rasa berencana mengajukan petisi di 19 kantor konsulat di Hong Kong.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Demonstran berkumpul di luar Konsulat AS di Hong Kong, Rabu (26/6). Mereka menuntut aturan ekstradisi Hong Kong diangkat dalam konferensi G-20 di Jepang.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Demonstran berkumpul di luar Konsulat AS di Hong Kong, Rabu (26/6). Mereka menuntut aturan ekstradisi Hong Kong diangkat dalam konferensi G-20 di Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Aktivis Hong Kong meminta para pemimpin Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara-negara lainnya mengangkat isu rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi dengan Presiden Cina Xi Jinping pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Jepang. Sekelompok pengunjuk rasa melakukan aksi di depan konsulat AS dan Uni Eropa, Rabu (26/6), untuk menyampaikan petisi yang menyatakan permintaan mereka.

Para pengunjuk rasa berencana mengajukan petisi di 19 kantor konsulat, termasuk Australia, Kanada, dan Jepang. Mereka berkumpul di Chater Garden yang merupakan jantung bisnis Hong Kong, dengan mengenakan kaus putih bertuliskan "Liberate Hong Kong!". Selain itu mereka juga membawa papan yang bertuliskan "Free Hong Kong from China's colonisation." Penyelenggara aksi, Ventus Lau mengklaim terdapat 1.500 orang yang terlibat dalam unjuk rasa di depan konsulat asing.

Baca Juga

"Pemerintah lokal kami telah mengabaikan kami sehingga kami tidak punya pilihan selain mencari bantuan dari komunitas internasional," kata Lau dilansir The Guardian.

Lau berharap negara-negara asing dapat mempertimbangkan mengangkat RUU ekstradisi di G-20 untuk membantu menegakkan status khusus Hong Kong. Di bawah Undang-Undang Kebijakan Hong Kong 1992, AS mengizinkan wilayah semi-otonom diperlakukan sebagai entitas yang tidak berdaulat dan berbeda dari Cina untuk urusan perdagangan dan ekonomi, di bawah hukum AS.

Hong Kong telah diguncang oleh krisis politik terbesar dalam beberapa dasawarsa, ketika Kepala Eksekutif Carrie Lam mengumumkan RUU ekstradisi. Jutaan warga Hong Kong berbondong-bondong turun ke jalan untuk memprotes usulan RUU tersebut. Bahkan, para pengunjuk rasa mengancam agar Lam turun dari jabatannya jika tetap meloloskan RUU tersebut.

Dalam sebuah kesempatan, Lam telah menangguhkan RUU ekstradisi tersebut dan meminta maaf kepada seluruh warga Hong Kong karena tidak menangani masalah ini dengan baik. Namun, di sisi lain, Lam menolak memberikan tanggapan terhadap tuntutan lain yang diajukan oleh para demonstran.

Sebelumnya, Cina telah menyatakan dukungannya secara penuh kepada pemerintahan Lam. Asisten Menteri Luar Negeri Cina, Zhang Jun mengatakan, masalah RUU ekstradisi tidak akan diangkat di KTT G-20 karena merupakan persoalan internal Cina. "Saya dapat memberi tahu Anda G-20 tidak akan membahas masalah Hong Kong dan kami tidak akan mengizinkan G-20 untuk membahas masalah ini," ujar Zhang.

"Pemerintah Hong Kong telah mengambil serangkaian langkah untuk menjaga keadilan masyarakat, dan memblokir celah dalam sistem hukum. Kami percaya apa yang telah mereka lakukan benar-benar diperlukan dan pemerintah pusat mendukung langkah-langkah ini," kata Zhang.

RUU ekstradisi tersebut menyatakan pelaku tindak pidana akan dikirim ke Cina daratan untuk diadili. Para kritikus, termasuk pengacara terkemuka dan kelompok hak asasi manusia menyatakan, sistem peradilan Cina dikendalikan oleh Partai Komunis.

Dengan demikian, sistem peradilan akan ditandai dengan penyiksaan dan pengakuan paksa, penahanan sewenang-wenang dan sulitnya akses ke pengacara. Aksi protes yang terjadi beberapa hari lalu merupakan yang terbesar di Hong Kong sejak peristiwa demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen, Beijing pada 4 Juni 1989.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement