REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Puluhan ribu pengunjuk rasa kembali melakukan aksi di Ibu Kota Khartoum dan sejumlah wilayah lainnya di Sudan, Ahad (30/6). Dalam laporan New Zealand Herald, seorang pejabat mengatakan setidaknya tujuh orang tewas dan hampir 200 lainnya terluka selama aksi protes berlangsung.
Demonstrasi terus menyerukan agar pemerintahan sipil dapat berkuasa di negara Afrika tersebut. Unjuk rasa yang digelar warga Sudan telah berlangsung di tengah kebuntuan dalam pembicaraan antara Dewan Transisi Militer (TMC) yang memegang pemerintahan negara saat ini dan oposisi.
Sebelumnya, pada pertengahan Juni, TMC dan kelompok oposisi telah menyetujui kembali melanjutkan pembicaraan mengenai struktur pemerintahan transisi di negara itu. Kedua pihak sepakat setelah aliansi oposisi memutuskan menangguhkan kampanye pemogokan umum yang digelar dalam beberapa hari terakhir.
Aksi protes yang digelar kali ini dilakukan bertepatan dengan peringatan 30 tahun kudeta di negara itu saat mantan presiden Omar al-Bashir berkuasa pada 1989 dengan menggulingkan pemerintah yang terpilih. Kerumunan orang berkumpul di sejumlah titik di Khartoum serta Omdurman, kota yang dikenal sebagai 'sister city' Ibu Kota Sudan.
Para pengunjuk rasa berjalan hingga rumah-rumah warga sipil yang tewas akibat melakukan aksi protes pada 3 Juni lalu. Bagi mereka, aksi ini sangatlah penting bagi rakyat Sudan.
"Ini adalah hari yang sangat penting bagi rakyat Sudan," kata seorang pengunjuk rasa Hamdi Karamallah.
Gelombang demonstrasi nasional yang tak kunjung usai di Sudan, dimulai sejak Desember 2018. Hal ini telah membuat al-Bashir yang telah memimpin Sudan selama 30 tahun harus mengundurkan diri dari jabatannya.