REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ribuan pengunjuk rasa diperkirakan akan turun ke jalan-jalan di pusat pariwisata Hong Kong, dan melakukan orasi mengenai penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Mereka berencana membawa pesan mereka langsung kepada para turis Cina yang berada di pusat-pusat pariwisata Hong Kong, Ahad (7/6).
Aksi demo rencananya akan berakhir di stasiun kereta api yang menghubungkan Hong Kong dengan Cina. Bahkan panitia penyelenggara aksi demo tersebut telah membuat sebuah iklan untuk mendorong masyarakat, agar bergabung dalam aksi unjuk rasa. MTR Corporation Hong Kong, yang mengoperasikan kereta bawah tanah menyatakan akan menutup semua pintu masuk ke stasiun Kowloon Barat.
Selain itu, gerai makanan dan minuman di sekitar wilayah tersebut juga ditutup. Tiket kereta api online antara Hong Kong dan Shenzhen telah habis terjual mulai pukul 2.30 malam hingga 06.30 sore.
Saluran penyiaran Hong Kong, RTHK melaporkan lebih dari 1000 petugas kepolisian akan disiagakan. Bahkan, beberapa jalan akan ditutup dan rute transportasi umum dialihkan. Asosiasi Pariwisata Hong Kong mengatakan, beberapa agen perjalanan tidak akan menuju daerah Tsim Sha Tsui yang populer di kalangan para wisatawan.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menangguhkan RUU ekstradisi tanpa batas waktu. Namun, Lam yang mendapatkan dukungan dari Cina tidak akan menghapus RUU tersebut. Di sisi lain para pengunjuk rasa menginginkan agar RUU itu dicabut dan Lam mundur dari jabatannya.
Lam telah menawarkan pembicaraan tertutup kepada mahasiswa dari dua universitas, namun para aktivis mengatakan, mereka ingin dialog dilakukan secara terbuka. Aksi demo besar-besaran telah terjadi sejak bulan lalu. Jutaan masyarakat Hong Kong turun ke jalan untuk memprotes RUU ekstradisi, karena membuka kemungkinan pelaku tindak kejahatan di Hong Kong akan diadili di Cina.
Para kritikus, termasuk pengacara terkemuka dan kelompok hak asasi manusia menyatakan, sistem peradilan Cina dikendalikan oleh Partai Komunis. Dengan demikian, sistem peradilan akan ditandai dengan penyiksaan dan pengakuan paksa, penahanan sewenang-wenang dan sulitnya akses ke pengacara. Aksi protes yang terjadi beberapa hari lalu merupakan yang terbesar di Hong Kong sejak peristiwa demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen, Beijing pada 4 Juni 1989.