Rabu 10 Jul 2019 15:14 WIB

Konflik Antar-Suku Papua Nugini Tewaskan Perempuan dan Anak

Sebanyak 15 perempuan dan anak terbunuh dalam konflik antar-suku Papua Nugini.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Port Moresby, Papua Nugini.
Foto: ABC
Port Moresby, Papua Nugini.

REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Kekerasan antar-suku di Papua Nugini kembali terjadi, Senin (8/7) waktu setempat. Setidaknya 15 perempuan dan anak-anak terbunuh dalam pembantaian di provinsi Hela, Papua Nugini. 

Insiden ini merupakan salah satu kekerasan suku terburuk di negara selama bertahun-tahun. Pembantaian terjadi pada Senin pagi dini hari saat pelaku penyerangan menggerebek desa Karida, sebuah desa dengan sekitar 800 orang di pedalaman negara.

Baca Juga

Petugas yang bertanggung jawab atas pusat kesehatan di Karida Philip Pimua mengatakan, ada 16 korban yang terdiri atas delapan anak berusia dari satu hingga 15 tahun dan delapan perempuan, yang dua di antaranya sedang hamil.

RNZ mengutip juru bicara kepolisian Papua Nugini, Tari Thomas Levongo melaporkan, ada 15 korban termasuk 10 perempuan dan lima anak. Pimua mengatakan, serangan terjadi sekitar pukul 6 pada Senin pagi. Korban tewas setelah mereka membuka pintu bagi para penyerang.

"Saya bangun di pagi hari, pergi untuk membuat api di dapur saya, pada saat yang sama saya mendengar suara senjata, kemudian saya melihat beberapa rumah yang mereka bakar, jadi saya tahu bahwa musuh sudah ada di dalam desa," kata Pimua dilansir Guardian.  

"Jadi saya lari dan bersembunyi di semak-semak, kemudian, sekitar pukul 9 atau 10, saya kembali dan melihat tubuh-tubuh termutilasi, dan rumah-rumah dibakar," ujarnya.

Selain senjata, pisau semak digunakan dalam serangan itu. Pimua mengatakan, bahwa dia mengenal semua korban. "Mereka adalah rakyatku, aku tahu mereka," ujarnya.

Meski demikian, banyak korban yang termutilasi sehingga sulit untuk identifikasi identitas. "Para korban tidak utuh tubuhnya. Beberapa memiliki bagian tubuh yang tidak bisa kita kenali, hanya wajah yang bisa kita kenali, tetapi kaki, tangan, tidak," ucapnya.

Pimua mengatakan, dia dan penduduk desa lainnya telah membungkus jenazah dengan kelambu, dan kemudian melarikan diri dari desa. Sebab masih khawatir para penyerang bersembunyi di semak-semak dan mungkin akan menyerang lagi. Dia mengatakan, mereka berharap untuk kembali mengubur mayat-mayat pada Rabu, tapi masih menunggu polisi untuk datang dan mengawal mereka.

Menurut Pimua, para penyerang memang telah bersitegang lama di daerah itu. Provinsi Hela dan daerah lain di dataran tinggi Papua Nugini telah dilanda kekerasan suku dalam beberapa tahun terakhir. Ada laporan pembunuhan, pembalasan, dan kekerasan seksual, semuanya diperburuk dengan meningkatnya ketersediaan senjata api.

Polisi PNG mengatakan kepada Post Courier bahwa serangan itu terjadi setelah serangan penyergapan pada Sabtu, yang menewaskan enam orang. Serangan itu terjadi di saat pemilih perdana menteri baru Papua Nugini, James Marape, yang menggambarkan hari itu sebagai salah satu yang paling menyedihkan dalam hidupnya.

Dalam sebuah posting Facebook, Marape mengatakan, serangan itu dipimpin oleh orang-orang bersenjata dari suku Haguai, Okiru, dan Liwi. Ia mengatakan, pihak berwenang akan mencari dan menghukum para pelaku dengan menggunakan langkah-langkah terkuat dalam hukum.

"Untuk mengenang orang yang tidak bersalah yang terus mati di tangan penjahat yang membawa senjata, waktu Anda sudah habis... kami akan mengejar Anda," tulisnya.

"Kepada semua orang yang memiliki senjata dan membunuh serta bersembunyi di balik topeng komunitas, belajarlah dari apa yang akan kulakukan untuk para penjahat yang membunuh orang-orang tak bersalah, saya datang untukmu," kata Marape.

Marape juga menyalahkan kurangnya sumber daya polisi di wilayah tersebut. Padahal ia telah meminta lebih banyak polisi permanen untuk ditempatkan di daerah itu sejak 2012, tetapi belum mendapat dukungan. "Bagaimana sebuah provinsi dengan 400 ribu orang berfungsi dengan hukum dan ketertiban kepolisian dengan di bawah 60 polisi?" tulis Marape.

Sementara, Pimua ragu tentang kemungkinan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas serangan itu akan ditangkap.  "Jika perdana menteri menggunakan pasukan khusus dari beberapa negara lain untuk datang dan menemukan orang-orang ini maka dia dapat melakukannya, oke, tetapi untuk pasukan keamanan kita, saya tidak berpikir begitu, " ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement