Kamis 25 Jul 2019 19:39 WIB

Agen Migrasi di Hong Kong Kebanjiran Pertanyaan Soal Cara Pindah ke Australia

Warga ingin meninggalkan Hong Kong khawatir dengan pengawasan China yang kian ketat.

Red:
abc news
abc news

Aksi protes ke jalanan di Hong Kong yang sudah terjadi selama beberapa pekan mulai berdampak pada perekonomian, yang juga dirasakan di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Australia.

Agen-agen migrasi di Hong Kong telah melihat lonjakan pertanyaan serta permintaan menggunakan layanan mereka, sejak protes atas rancangan undang-undang ekstradisi dimulai hampir dua bulan lalu.

Seperti yang dialami oleh John Hu, agen migrasi yang juga terdaftar di Australia dan menjalankannya di China. Ia mengaku telah menerima ratusan telepon selama sebulan terakhir dari orang-orang yang ingin meninggalkan Hong Kong karena khawatir dengan kemungkinan pengawasan China yang lebih besar.

Ia mengatakan total permintaan menggunakan jasanya telah melonjak pada Juni dan Australia adalah tujuan utama warga Hong Kong yang mencari migrasi permanen.

"Jumlah yang mengajukan pertanyaan telah meningkat dua kali lipat dalam sebulan. Sementara yang menggunakan jasa kami naik 30 hingga 40 persen," kata John.

"Dalam tiga hingga lima tahun terakhir kita melihat ada peningkatan stabil dari jumlah migran, terutama ke Australia."

Selama tujuh minggu, warga Hong Kong telah berdemonstrasi ke jalanan menentang rancangan undang-undang yang akan memungkinkan mereka yang dicurigai melakukan kejahatan untuk diekstradisi ke China dan diadili.

 

Awal bulan ini, pemimpin Hong Kong, Carrie Lam menangguhkan RUU itu, tetapi komunitas bisnis adalah salah satu yang menyerukan agar rancangan undang-undang itu dihapus sama sekali.

Ada kekhawatiran akan terjadinya eksodus kedua dari Hong Kong, lebih dari 20 tahun setelah gelombang pertama yang terjadi setelah Hong Kong dikembalikan ke pemerintah China oleh Inggris di tahun 1997.

Seorang pengamat China-Australia, Chongyi Feng dari University of Technology Sydney, mengatakan gelombang meninggalkan Hong Kong yang kedua sudah terjadi karena adanya kekhawatiran Cina semakin menindak Hong Kong.

"Itu sudah terjadi, beberapa teman saya telah melakukan itu," kata Profesor Feng.

"Anda dapat melihat di berita banyak pengusaha dan profesional berencana untuk melakukannya."

Pemesanan tiket pesawat dari Indonesia menurun

Kericuhan politik di Hong Kong juga sudah berdampak pada sektor ritel dan pariwisata, dengan beberapa investor memindahkan uang mereka ke tempat yang lebih aman, seperti Singapura.

Asosiasi ritel di Hong Kong (HKRMA) mengatakan nilai penjualan ritel telah anjlok di bulan Juni dan pekan pertama di bulan Juli, dibandingkan di periode yang sama tahun lalu dan diprediksi akan terus turun hingga dua digit di tahun 2019.

Di sektor pariwisata, David Tarsh konsultan pariwisata 'ForwardKeys' mengatakan ada penurunan hingga 5.4 persen untuk pemesanan tiket pesawat ke Hong Kong dari negara-negara Asia, seperti Jepang, Malaysia, Indonesia, India sejak pertengahan Juni ke pertengahan Juli.

Hong Kong adalah salah satu pusat keuangan terbesar di dunia, tanpa tarif, pajak rendah, dan sistem hukum independen, berbeda dengan China..

Ketika Hong Kong kembali ke pemerintahan China pada 1997, janjinya adalah "satu negara, dua sistem", yang berarti Hong Kong mempertahankan otonominya selama 50 tahun setelah penyerahan.

Andrew Parker, Kepala PwC Asia mengatakan para investor dan bisnis khawatir akan terkena dampaknya jika undang-undang ekstradisi akhirnya disahkan.

"Kericuhan ini meresahkan dan menyebabkan orang bertanya tentang Hong Kong dan masa depannya," katanya kepada The Business.

"Hong Kong sangat penting. Bisnis-binis di Australia menggunakan Hong Kong sebagai titik tolak ke kawasan Asia dan Cina."

Di Australia protes antara pendukung China dan pro-demokrasi berakhir dengan saling pukul antara pendukung China dan pro-demokrasi yang terjadi di University of Queensland, hari Rabu (24/07).

Artikel ini disadur dari laporan aslinya dalam Bahasa Inggris disini.

Simak berita dunia lainnya di situs ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement