Kota Sihanoukville di pesisir pantai barat daya Kamboja yang sebelumnya sepi, kini telah berubah dengan masuknya investasi Cina. Namun, laju pembangunan telah memecah warga lokal dan menimbulkan kecurigaan mengenai ambisi Cina di sana.
Tanda-tanda pengaruh investasi Cina di Sihanoukville semakin sulit dihindari.
Puluhan hotel dan kasino dengan papan nama berbahasa Cina telah berdiri. Investasi tersebut mendorong naiknya harga tanah dan pelan-pelan menyingkirkan warga Kamboja sendiri.
Cina bahkan membangun zona ekonomi khusus di pinggiran Kota Sihanoukville, sehingga memungkinkan negara itu meningkatkan jalur perdagangannya melalui Kamboja.
Seorang warga lokal You Veasna yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang kaki lima mengaku, kini dia tidak bisa lagi bersaing akibat masuknya pengusaha-pengusaha Cina.
"Saya mengalami dampak masuknya orang-orang Cina ke sini," katanya kepada ABC.
"Saya tak mampu bersaing dengan mereka, sehingga kehilangan usaha. Banyak orang lain mengalami hal yang sama," tambahnya.
Namun sejumlah pengamat menyebut, yang sebenarnya diincar oleh Cina adalah Pangkalan Angkatan Laut Ream, sekitar 30 kilometer dari kota tersebut.
Dalam beberapa hari terakhir, pangkalan kecil ini menjadi sorotan dan memicu spekulasi mengenai rencana besar Cina mengukuhkan kendali militer di wilayah ini.
Seorang pejabat pertahanan Kamboja yang dmintai komentar menepis laporan bahwa Kamboja telah menandatangani perjanjian rahasia dengan Cina yang memungkinkan negara itu menempatkan tentaranya di Pangkalan Angkatan Laut Ream.
Laporan itu, konon akan memungkinkan Cina menempatkan pasukan dan aset militernya di Ream untuk jangka waktu 30 tahun. Kesepakatan ini disebut telah mengabaikan hubungan Kamboja dan Amerika Serikat.
Dalam wawancara dengan ABC, juru bicara Angkatan Bersenjata Kamboja Jenderal Chhum Sutheat membantah laporan itu sebagai hoaks.
"Sejauh ini Kamboja belum pernah menandatangani perjanjian dengan Cina untuk menempatkan militernya di Kamboja," katanya.
"Laporan itu tidak berdasar, dan bisa dibilang hanya karangan atau memutarbalikkan informasi untuk memfitnah Kamboja," tambah Jenderal Sutheat.
Untuk turis atau pangkalan militer China?
Kamboja menyewakan tanah seluas 45.000 hektar kepada perusahaan-perusahaan Cina untuk membangun mega-resort yang dilengkapi kasino, lapangan golf 18-lubang dan dermaga pelabuhan.
Sebuah bandara internasional dengan landasan pacu sepanjang 3 kilometer - cukup panjang untuk mendaratkan pesawat komersial dan militer - juga merupakan bagian dari Dara Sakor Seashore Resort Long Term Project.
Cina juga membangun pelabuhan laut dalam di Koh Kong, di sebelah barat pangkalan itu, yang disebut-sebut memiliki kemampuan untuk menampung kapal perang jenis frigat dan pesawat tempur.
Awal tahun ini, Wakil Presiden AS Mike Pence telah menyurati Pemerintah Kamboja dan menyuarakan kecurigaan mengenai rencana pangkalan militer Cina di sana.
Namun Jenderal Sutheat mengatakan Kamboja menerima investasi dari semua negara. Selain itu, katanya, konstitusi Kamboja melarang adanya tentara asing yang berbasis di negara itu.
"Kami berulang kali mengatakan tidak pernah menerima kehadiran militer asing di Kamboja. Kami tidak akan mengizinkan pasukan asing di Kamboja," tegasnya.
Sementara itu, pekerja konstruksi di Pangkalan Angkatan Laut Ream sangat sibuk.
Di pintu masuk pangkalan, para pekerja tampak membangun sebuah jembatan yang membutuhkan perbaikan.
Jembatan baru itu akan memungkinkan alat berat untuk lewat - jika alat-alat berat itu diperlukan untuk membangun pelabuhan yang akan menampung kapal-kapal perang.
Pihak Cina juga membantah laporan itu, dan menjelaskan kedua negara melakukan kerja sama yang baik dalam pelatihan dan peralatan logistik.
John Blaxland, seorang analis militer dari Australian National University, mengatakan pernyataan pihak Cina tidak bisa dipercaya begitu saja.
"Ini sebenarnya perkembangan dan peningkatan signifikan dari jangkauan militer Cina," katanya.
Pangkalan Ream akan memberi Cina akses ke perairan Teluk Thailand. Selain itu, juga akan berpengaruh pada usulan lama Cina, yaitu membangun kanal di Thailand yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudra Hindia.
Kanal tersebut akan memberikan jalur laut alternatif selain Selat Malaka, yang selama ini menjadi lintasan maritim terpenting.
Prof Blaxland menilai kanal tersebut akan meningkatkan kemampuan Cina dalam mempengaruhi "urat leher" perekonomian mereka di Asia Timur, yaitu Selat Malaka.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.