Pemerintah Indonesia menyatakan warga Nduga yang meninggal sejak Juli 2018 hingga saat ini berjumlah 53 orang, 23 di antaranya adalah anak-anak. Sementara pengungsi Nduga di Wamena dilaporkan menolak bantuan dari Pemerintah Indonesia karena penyalurannya melibatkan aparat TNI.
Pengungsi Tolak Bantuan:
- Masyarakat pengungsi Nduga yang berada di Wamena menolak bantuan Kemensos RI dengan alasan penyalurannya melibatkan aparat TNI/Polri.
- Pengungsi dilaporkan masih berharap bantuan sepanjang disalurkan langsung tanpa pelibatan aparat TNI/Polri.
- Konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan OPM pimpinan Egianus Kogoya meletus sejak awal Desember 2018, menyusul pembunuhan pekerja konstruksi Trans Papua.
Dikutip dari media lokal, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos RI Harry Hikmat menyatakan, "Tidak benar berita lebih dari 130 orang meninggal dalam pengungsian. Jumlah korban meninggal dunia itu merupakan akumulasi dari awal konflik terjadi."
Sebelumnya, ABC News melaporkan bahwa 139 pengungsi Nduga telah meninggal dunia, terhitung sejak konflik bersenjata terbaru meletus awal Desember 2018 hingga saat ini.
Konflik bersenjata antara TNI dan OPM pimpinan Egianus Kogoya meletus pada 2 Desember 2018 dan menurut data Tim Solidaritas untuk Nduga dan Tim Relawan Kemanusiaan, ada puluhan ribuan pengungsi internal.
Rinciannya, 4.276 pengungsi di Distrik Mapenduma, 4.369 di Distrik Mugi, 5.056 di Distrik Jigi, 5.021 di Distrik Yal, dan 3.775 di Distrik Mbulmu Yalma.
Tim itu juga menyebut adanya pengungsi internal di Distrik Kagayem sebanyak 4.238 jiwa, di Distrik Nirkuri 2.982 jiwa, Distrik Inikgal 4.001 jiwa, Distrik Mbua 2.021 jiwa, serta Distrik Dal sebanyak 1.704 jiwa.
Media Kompas melaporkan, pihak Kemensos bersama Pemkab Nduga dan TNI melakukan rapat di Wamena, Jayawijaya, Senin (29/7/2019).
"Rapat kerja ini bertujuan mengklarifikasi informasi terkait pengungsi Nduga di media massa nasional maupun internasional," kata Dirjen Harry Hikmat.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga Namia Gwijangge menegaskan 53 korban meninggal dunia yang mereka identifikasi ini berasal dari 11 distrik yang terdampak konflik.
"Data 53 orang itu dilengkapi nama dan lokasi meninggal. Informasi warga yang meninggal 139 orang itu belum terverifikasi," kata Sekda Namia Gwijangge.
Sementara itu, aktivis Tim Solidaritas untuk Nduga dan Tim Relawan Kemanusiaan di Wamena Hipolitus Wangge yang dihubungi hari Rabu (31/7/2019) menilai, data jumlah korban meninggal yang disampaikan Kemensos RI yang diperoleh dari Dinkes Pemda Nduga, memiliki sejumlah kelemahan.
"Jumlah korban dicampur dengan penembakan pada bulan Juli 2018, padahal pengungsi internal dimulai sejak peristiwa penembakan karyawan Istaka Karya pada Desember 2018," kata Hipolitus kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim melalui sambungan telepon.
Selain itu, kata Hipolitus yang juga peneliti Marthinus Academy, metode pengumpulan data itu tidak jelas.
"Dua nama korban ternyata bukan warga Nduga melainkan warga Kabupaten Yahukimo, serta pendataan semuanya dilakukan di Nduga bukan di titik-titik pengungsian seperti di Wamena," katanya.
Dia juga menyoroti data yang disampaikan Kemensos RI ini yang tidak menyebutkan adanya korban pada April, Mei, dan Juli 2019.
"Jenis kematian dicampur antara penembakan oleh OPM dan oleh TNI. Padahal seharusnya dibedakan, sehingga tindak pelanggaran hukumnya bisa diidentifikasi secara jelas," kata Hipolitus.
Dia menyebut dari 53 korban yang disampaikan Pemerintah Indonesia, tiga di antaranya adalah warga pendatang tanpa disebutkan namanya.
Menolak bantuan
Sementara itu, dalam jumpa pers di Wamena, Rabu (31/7), masyarakat pengungsi Nduga menyatakan menolak bantuan yang disalurkan oleh Kemensos.
Penolakan dilakukan setelah mengetahui rapat koordinasi penyaluran bantuan tersebut dilakukan di Markas Kodim Jayawijaya.
Penolakan ini, menurut ketua Jaringan Advokasi Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua Theo Hesegem, dilakukan melalui rapat terbuka yang dihadiri masyarakat, tokoh gereja dan tokoh adat pada Senin (29/7).
Dikatakan, skema bantuan yang mereka harapkan adalah bagaimana mensinergiskan kerjasama antara pemerintah pusat, daerah dan jaringan solidaritas yang tidak melibatkan TNI/Polri.
"Dampak perang antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) ini yang menyebabkan sehingga terjadi ribuan pengungsi," katanya.
"Pengungsi akan menolak bantuan apabila aparat TNI/Polri dilibatkan dalam proses penyalurannya. Ini sebenarnya sudah diketahui oleh Kepala Dinas Sosial Propinsi Papua maupun Sekretaris Daerah Kabupaten Nduga sebagai anak-anak adat yang sangat paham dan mengerti filosofi budaya Nduga," demikian disebutkan dalam jumpa pers tersebut.
Dikatakan, dengan penarikan pasukan TNI/Polri sudah pasti bahwa sistem pemerintahan maupun aktivitas sosial di Kabupaten Nduga akan kembali berjalan normal.
Para pengungsi, katanya, sudah menunggu dari jam 09.00 pagi hingga jam 15.30 sore di areal Gereja Weneroma, dan mendapat kabar Kemensos dan Pemerintah Daerah Nduga melakukan rapat untuk membahas strategi penyaluran di Kodim Jayawijaya Wamena.
Hal itu menyebabkan pengungsi marah dan menolak menerima bantuan karena berkaitan dengan adat istiadat budaya perang mereka.
"Ada 300-an pengungsi yang sudah berkumpul, namun mereka akhirnya menolak begitu mengetahui upaya penyaluran bantuan Kemensos ini akan melibatkan aparat TNI/Polri," kata Hipolitus.
"Para pengungsi sebenarnya tetap berharap bantuan dari Pemerintah RI tapi penyalurannya jangan melibatkan aparat TNI/Polri, karena masyarakat trauma dengan mereka," katanya.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.