Persatuan Guru di Australia Barat meminta agar tes formal dan ujian sekolah dihapuskan untuk murid-murid berusia di bawah 8 tahun, diganti dengan model pembelajaran berbasis bermain sebagaimana diterapkan disukai di negara-negara Skandinavia.
Menurut ketua Persatuan Guru Pat Byrne, pembelajaran berbasis bermain lebih bagus untuk anak-anak dalam hal kebugaran, hasil akademik, penyelesaian masalah dan keterampilan sosial.
Dia mengatakan anak sekolah di Australia mulai dari usia TK dan seterusnya selalu diharapkan ikut berbagai tes formal, termasuk Tes Masuk dan NAPLAN (semacam Ujian Akhir Nasional di Indonesia).
Padahal, kata Byrne, ujian-ujian formal tersebut berdampak buruk pada murid, guru serta orangtua murid.
Dia juga meminta Pemerintah Australia Barat untuk mengembangkan strategi agar semua anak didik dapat mengakses pembelajaran berbasis bermain.
"Ada berbagai macam keterampilan sosial dan keterampilan praktis yang dipelajari anak-anak melalui permainan," katanya.
"Di Finlandia misalnya, secara konsisten menunjukkan hasil yang terbaik di dunia," tambah Byrne.
"Mereka tidak fokus pada pengukuran nilai dan akuntabilitas seperti yang diterapkan di Inggris, AS dan di Australia," katanya.
Dia menambahkan tidak satu pun dari ketiga negara ini yang berhasil menunjukkan performa terbaik.
Pengaruhi perilaku
Penelitian yang dilakukan Sandra Hesterman dari Universitas Murdoch menunjukkan adanya tekanan yang dirasakan para guru untuk fokus pada hasil akademik.
Selain itu, para guru juga tertekan untuk mempersiapkan murid-murid menghadapi tes formal.
Penelitian yang melibatkan 600 guru di Australia Barat ini menemukan mayoritas guru tidak punya waktu mengembangkan pembelajaran berbasis bermain.
Hesterman menjelaskan, para guru menganggap tuntutan kurikulum terlalu besar untuk murid usia lebih muda.
"Anak-anak tidak diberi kesempatan untuk menemukan sesuatu, membuat sesuatu, berinteraksi, dan mendapatkan kepercayaan diri karena dibanjiri beban kurikulum yang berlebihan," katanya.
"Para guru mencatat bahwa gagal ujian dan penolakan terhadap kegiatan yang dianggap membosankan itu berpengaruh pada masalah perilaku anak-anak," kata Hesterman.
"Anak-anak mengalami kecemasan karena adanya harapan formal di luar tahap perkembangan normal mereka," jelasnya.
Hesterman mencontohkan, murid-murid usia dini telah diharuskan belajar membaca dan menulis padahal mereka belum siap melakukannya.
Hal ini, katanya, akan mengarah pada masalah perilaku dan hasil akademis yang justru merugikan.
Byrne menambahkan, orangtua murid biasanya ingin memastikan anak-anak mereka berprestasi kuat secara akademis sejak usia dini.
Dia mengingatkan pemerintah perlu menjadikan bermain sebagai prioritas di sekolah sehingga anak-anak di bawah 8 tahun tidak menjadi subjek tes formal.
Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.