Dari gerai 7-Eleven, Pizza Hut, sampai restoran milik mantan juri MasterChef Australia, George Calombaris, dan sekarang penyelidikan yang sedang dilakukan di restoran jejaring Subway, menambah daftar skandal pekerja restoran di Australia yang dibayar kurang dari semestinya.
Masalah pembayaran yang kurang oleh majikan, dengan sebutan 'wage theft' sebenarnya bukanlah hal yang baru di Australia.
Banyak pekerja yang masih menunggu agar pemilik restoran bisa dijerat hukum, tapi hingga saat ini yang bisa mereka lakukan hanya menyelesaikan masalahnya sendiri.
Salah satu caranya, sayangnya, adalah keluar dari pekerjaannya atau terpaksa mencari pekerjaan lain, yang belum tentu akan mendapat bayaran lebih tinggi.
Anita, mahasiswi asal Indonesia di Western Sydney University, misalnya memilih keluar setelah pernah bekerja di sebuah restoran Asia di kota Sydney selama tiga bulan.
Ia baru datang ke Australia bulan Juni lalu dan pada awalnya ia tidak tahu jika upah yang diterimanya saat itu, yakni AU$ 10 atau kurang dari Rp 100.000 per jam, termasuk bayaran yang rendah.
Kepada ABC ia mengaku alasan ia bekerja di restoran itu karena hanya tempat itu yang mau menerimanya bekerja hanya di hari Senin dan tidak terlalu mempertimbangkan pengalaman kerja.
"Kebanyakan tempat butuh pengalaman minimal enam bulan, sedangkan waktu itu saya baru sampai di Sydney, sekitar setengah bulan," katanya.
Anita yang berusia 19 tahun mengaku jika ia bekerja hampir 10 jam, dari jam 12 siang hingga paling malam bisa sampai jam 9.
"Saya bekerja hampir tiga bulan ... sebenarnya karena tidak ada pilihan dan sekarang sudah tidak bekerja disana lagi."
Ira Nurmaulina, warga Indonesia di Sydney juga pernah mengaku mendapat bayaran di bawah upah minimum dan pihak restoran memanipulasi jem kerja.
Menurutnya banyak pelajar Indonesia yang bekerja di restoran tapi tidak terlalu mengeluh atau melaporkan majikannya, karena bagi mereka yang penting mendapatkan uang.
Mendapat upah rendah juga dialami oleh Max Fox, yang pernah bekerja di sebuah restoran di Sunshine Coast (Queenland) saat ia sekolah.
Tapi Max memilih untuk mencari pekerjaan lain, setelah 18 bulan bekerja di restoran itu.
"Setelah ganti pekerjaan, gaji saya naik dua kali lipat ... kemudian saya merasa ada yang salah di sini."
Max, yang kini berusia 22 tahun, mengatakan ia tidak dibayar dengan semestinya, karena salah satu tugasnya adalah menyajikan alkohol dan saat itu tidak bisa melakukannya dengan alasan usia.
Dari perhitungannya, ada kekurangan pembayaran gaji hingga AU$ 7.000 (sekitar Rp 70 juta) dan ia menghubungi mantan majikannya
"Saya awalnya mengirimkan surat soal keluhan ini kepada majikan saya setelah beberapa kali berkonsultasi dengan Fair Work [organisasi hak pekerja]."
"Keesokan harinya saya mendapat jawaban dari pengacara mereka."
"Mendapat tanggapan, bukan dari orang-orang di restoran, bukan dari manajemen, tetapi dari tim hukum, itu sangatlah menakutkan."
Max masih dalam negosiasi dengan mantan majikannya setelah mencari bantuan melalui organisasi Young Workers Hub, sebuah inisiatif yang berbasis di Brisbane.
Menurutnya Imogen Barker, salah satu direktur Youth Workers Hub, besarnya masalah pembayaran upah yang tidak semestinya di Australia sudah sampai taraf mengkhawatirkan.
"Ada satu kasus dalam seminggu, orang-orang datang kepada kami melaporkan dibayar rendah, atau tidak tahu berapa seharusnya mereka dibayar atau bagaimana diperlakukan di tempat kerja."
"Banyak orang, khususnya pekerja muda berada dalam situasi kerja yang tidak aman, baik yang direkrut atau yang kasual."
"Artinya jika mereka mengatakan, 'saya dibayar rendah', ada potensi tidak akan mendapat jadwal kerja keesokan harinya atau minggu depan."
Seperti yang terjadi di tahun lalu, saat karyawan restoran Melbourne meminta kenaikan gaji, mereka malah mengaku diancam.
Jaksa Agung Australia, Christian Porter, pernah menegaskan perlunya "hukuman yang lebih serius diberikan untuk jenis pelanggaran paling serius'.
"Mereka yang mengulangi pelanggaran dengan membayar upah rendah; mereka melakukannya secara sadar dan dalam jumlah yang sangat besar dan jelas sangat merugikan pekerja mereka," katanya.
Pekerja seperti Max tentu menyambut baik jika para pelaku 'wage theft' ini dikriminalisasi.
"Saya bukan yang pertama, bukan juga akan jadi yang terakhir, saya tak sabar lagi agar mereka dijerat hukum."
Sementara itu Youth Workers Hub mengajak agar para pekerja, khususnya pekerja muda dan pelajar internasional, jika tidak nyaman membahas masalah ini dengan majikannya bisa berkonsultasi dengan sejumlah organisasi, seperti Fair Work Commission atau organisasi mereka.
Disadur dari laporan aslinya yang dimuat di situs Hack, program Triple J milik ABC yang bisa dibaca disini.
Berita seputar studi, kerja dan tinggal di Australia bisa Anda dapatkan di situs ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.