Bagi Laninka Siamiyono, Lipstik tidak hanya sekedar produk pemulas bibir untuk mempercantik penampilan, tapi lebih dari itu lipstik telah menjadi medium penyembuhan untuk berdamai dengan kondisi fisiknya sebagai difabel.
Kini ia berusaha menyebarkan pengalaman positifnya itu lewat kampanye donasi Lipstik Untuk Difabel yang digagasnya.
'On a bad day there's always Lipstik' adalah salah satu kutipan terkenal dari aktris kenamaan Hollywood Audrey Hepburn, yang artinya adalah 'di hari ketika anda merasa sedih atau ada masalah, selalu ada lipstick yang bisa mencerahkan keadaan.'
Tampaknya semangat serupa untuk menyemangati diri dalam menghadapi pengalaman yang kurang menyenangkan dengan merias diri terutama mengenakan lipstik inilah yang juga tengah didorong oleh Laninka Siamiyono, 29 tahun, melalui kampanye Lipstik Untuk Difabel (LUD) besutannya.
Beauty Vlogger difabel ini setahun terakhir telah melakukan penggalangan donasi lipstik baru dari merek apapun untuk diberikan secara cuma-cuma kepada para difabel wanita di Indonesia.
"Aku berharap donasi lipstik ini bisa membantu temen-temen keluar dari zona kenyamanan dan ketakutan mereka. Aku ingin mengubah perasaan temen-temen disabilitas yang tadinya mengurung diri, menjadi lebih berani, lebih pede dengan tampil cantik tidak hanya secara fisik tapi juga dari dalam diri mereka." kata YouTuber berhijab ini.
Ditemui usai menjadi pembicara dalam sebuah acara di pusat perbelanjaan mewah di Jakarta Barat, Laninka mengaku tidak menyangka, gerakan di media sosial yang awalnya hanya meminta donasi 10 buah Lipstik ini sampai saat ini telah berhasil mengumpulkan sekitar 2000 Lipstik.
"Kenapa Lipstik? karena perempuan gak bisa lepas dari Lipstik, selain itu saya meyakini lipstik adalah benda yang bisa bikin orang merasa pede, dapat meningkatkan self esteem, mengubah attitude, personality dan mood bagi yang memakainya." tuturnya.
"Jadi kalau aku lagi pakai Lipstik warna 'nude', aku jadi sosok yang super santai, super kalem super easy going, tapi begitu pakai agak nge-pink aku berubah jadi orang yang lebih girly, kalau pakai merah lebih confident, statementnya lebih powerful lebih mantap." tambahnya ketika ditemui wartawan ABC Iffah Nur Arifah di sebuah acara di salah satu pusat perbelanjaan di Jakara Barat.
Pemilik akun YouTube "The Wheelchair Girl" ini menuturkan ribuan lipstick yang diterimanya tidak hanya berasal dari individu saja, tapi sejumlah brand kosmetik local dan internasional juga turut mendukung kampanyenya.
Perempuan asal Tangerang Jawa Barat ini aktif mendatangi komunitas difabel dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk membagikan lipstik tersebut.
Ratusan difabel dari berbagai kalangan dan usia telah dibuatnya merasa cantik dan pede dengan donasi lipstiknya.
Pede berkat make up
Kampanye Lipstik untuk difabel (LUD) ini bukan sesuatu yang terlontar begitu saja, tetapi merupakan tekad yang dilatari pengalaman pribadi Laninka Siamiyono.
Ia mengaku make up telah membuatnya merasa tersembuhkan dari perasaan malu, tidak percaya diri dan rasa menghargai diri sendiri yang rendah sejak dia menjadi difabel daksa pasca terserang penyakit Rhematoid Arthritis (RA) ketika berusia 13 tahun.
Salah satu kondisi autoimun itu membuat seluruh badan Laninka nyeri dan sulit digerakkan hingga akhirnya ia mengalami cacat fisik.
Kehidupannya berbalik, dari seorang gadis tomboy yang gemar basket dan renang, ia harus menjadi perempuan berkursi roda.
"Ketika menjadi berkursi roda aku menganggap hidup aku sudah tamat, RA itu merampas segalanya dalam hidup aku, bahkan senyum dari wajah aku."
"Aku jadi sangat gak peduli dengan penampilan, kalo lebaran aku cuma pakai celana dan baju longgar ayah saja. Jadi disaat sepupu-sepupu aku cantik-cantik dan pakai baju baru, aku gembel sendiri. Setidak peduli itu aku sama diri aku,10 tahun lalu." Lanin berkisah.
Hingga pada sekitar tahun 2009, seorang kawan datang menawarkan produk kosmetik jualannya.
Merasa kasian Laninka pun membeli sebuah eyeliner dari kawannya tersebut. Namun tak disangka benda itu justru membuatnya tertarik berlatih mengenakan make up.
"Awalnya aku minta tolong orang dirumah untuk memakaikan eyeliner, lama-lama aku mikir gimana cara memakainya sendiri, terus akhirnya aku nemu ide pakai tongkat pijit dan penggaruk punggung ayah."
"Dari situ aku mulai pakai make up sendiri, dan lama-lama akhirnya terbiasa, sampai sekarang tongkat ini jadi alat paling penting dalam hidupku," kata Laninka sambil menunjukan tongkat plastik berwarna biru yang selalu dibawanya kemana saja.
Dari berdandan merias diri sendiri didalam kamar, kini Laninka telah memiliki channel YouTube sendiri dengan lebih dari ribuan follower.
Sejumlah video make up tutorial yang diunggahnya menunjukan kecekatan tangananya menggerakan kuas untuk mengaplikasikan make up dengan menggunakan tongkat pijit.
"Aku merasa tersembuhkan dengan makeup, make up is my therapy. Menyembuhkan dalam arti aku merasa ternyata aku tidak ada bedanya dengan aku yang dulu."
"Aku masih sama-sama Laninka yang berbeda hanya cara hidup aja. Aku mulai bisa menerima diri aku apa adanya." ungkapnya.
"Make uplah yang menumbuhkan rasa percaya diri aku, bukannya aku merasa cantik ketika pakai make up, tapi make up yang menyadarkan aku secara psikis .. kalau kecantikan itu tidak ada hubungannya dengan wajah, tapi ketika kita bisa merasa nyaman dengan diri sendiri ya itu arti cantik yang sesungguhnya."
Semangat dan kesadaran inilah yang hendak ia bagi dengan rekannya sesama difabel yang lain melalui kampanye donasi Lipstik Untuk Difabel di media sosial.
"Aku pikir pasti banyak teman disabilitas yang merasakan hal sama seperti aku. aku ingin make up ini bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukanya ke aku. Kalau difabel juga berhak dan bisa tampil menarik dan cantik. Please Make Up Do Your Magic!"
Kelas make up untuk difabel
Kampanye bagi-bagi lipstik untuk penyandang disabilitas ini kemudian terus berkembang seiring menjadi kegiatan kelas make up untuk disabilitas.
Ia mengundang difabel untuk belajar bermake up secara lengkap dengan dibimbing penata rias professional.
"Beberapa dari yang ikut memang ada yang sudah pede dan suka ber-make up, tapi ada juga yang ini jadi pengalaman pertamanya. Ada satu rekan yang aku ingat mengaku, ini pertama kali dia keluar rumah sejak jadi difabell daksa, hanya untuk ikut event aku, itu buat aku sangat terharu." tutur Laninka.
Kelas make up untuk difabel ini sudah diselenggarakan sebanyak 3 kali di Jakarta dan Yogyakarta.
Kelasnya selalu penuh terisi oleh difabel yang antusias belajar merias diri bersamanya.
Sejumlah difabel yang ikut kegiatan ini juga mengaku sangat mengapresiasi kelas make up dari LUD.
"Kalau aku memang sudah lama tertarik dengan make up, tapi belum begitu paham tahapan atau trik-triknya. Setelah ikut kelas Make Up Class LUD aku jadi lebih paham. Karena di kelas itu ada Make Up Artis (MUA) professional yang ngajarin langsung. "
"Kita diajarkan cara supaya feature terbaik di wajah kita bisa lebih menonjol, misal pipi, gimana bikin tulang pipi terlihat menonjol." ungkap Maria Ivena Amada Sari, 23 tahun, peserta Make Up Class Untuk Difabel di Yogyakarta yang diselenggarakan beberapa waktu lalu.
Difabel peraih medali emas untuk nomor tolak peluru di kejuaraan difabel nasional ini menilai kelas make up LUD telah menjadi ajang sosialiasi dan berbagi dukungan bagi kalangan difabel.
"Make up class itu jadi ajang support system yang bagus, orang yang mengalami peristiwa sama (difabel) berkumpul itu bisa memunculkan rasa kolektivitas."
"Apalagi event itu juga ada sesi sharingnya, bagaimana bisa percaya diri, beberapa ada yang curhat masih sulit untuk menempatkan diri di lingkugan sosial, mencari pekerjaan atau membangun relasi secara interpersonal." tuturnya.
Pendapat serupa juga diungkapkan Carinna Amagia, 23 tahun, difabel netra yang ikut kelas make up untuk difabel Laninka di Jakarta.
"LUD ini sangat berguna terutama karena aku kerja di dunia entertaintment, aku freelance pengajar vokal dan penyanyi dari grup band yang ke-6 personilnya difabel netra."
"Aku jadi dapat pengetahuan tambahan tentang bagaimana bermake up dan tampil lebih baik. Setidaknya agar layak dilihat orang-orang ketika tampil." kata Carin.
Carin yang mengaku memang sudah menyukai make up sejak lama menuturkan pengalaman yang didapatnya dari kelas make up ini juga telah membuatnya menjadi lebih mandiri.
"Setelah ikut kelas Make Up akhirnya aku bisa make up sendiri. Yang sebelumnya kalau mau perform aku harus panggil MUA atau dibantu orang terdekat untuk pakai make up, sekarang aku sudah bisa melakukannya sendiri"
"Sekarang aku malah sudah bikin beberapa make up tutorial meski baru di Facebook setelah ikut kursus ini." tambahnya lagi.
"Make up class ini memberi pengetahuan yang baru dan juga input ke teman-teman difabel kalau disabilitas juga bisa dandan loh, bisa cantik loh, bisa modis, gak cuma kucel, kumel gak berharga gitu." tegasnya.
Laninka Siamiyono mengaku saat ini tengah menghentikan sementara donasi lipstick untuk difabel (LUD) karena masih ada ratusan lipstick yang belum didonasikan.
"Agak sulit menjangkau teman-teman atau komunitas difabel, karena mereka banyak yang sudah dipindahkan ke daerah untuk dapat pendidikan khusus dan banyak juga yang gak mau bersosialisasi, gak mau keluar gak mau gabung dengan komunitas, semenyara tidak semua SLB juga mau menerima donasi karena alas an belum cukup umur untuk bermake up," katanya.
Namun ia bertekad untuk terus melanjutkan tekadnya membuat para difabel percaya diri lewat kampanye Lipstik Untuk Difabel besutannya.
"Harapan saya ke depan teman difabel akan lebih diperlakukan secara setara dan Indonesia bisa menjadi negara yang ramah disabilitas dalam semua konteks, baik kesejahteraan, kesempatan kerja, transportasi maupun akses pedestrian dan lain-lain." demikian harapannya.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia