Selasa 03 Sep 2019 00:10 WIB

Industri Rokok di Indonesia Pedang Bermata Dua Bagi Pemerintah

Industri tembakau menyumbang hampir 96 persen dari total cukai nasional Indonesia

Red:
Dilarang merokok
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Dilarang merokok

Sikap pemerintah Indonesia yang bertolak belakang antara industri rokok kretek dan rokok elektronik membuat penanganan dampak negatif rokok semakin kompleks.

Rokok dan isu kesehatan di Indonesia:

  • Tembakau secara historis menjadi salah satu industri nasional terbesar di Indonesia
  • Industri tembakau menyumbang hampir 96 persen dari total cukai nasional Indonesia
  • Hukum dan peraturan yang longgar telah memungkinkan industri untuk berkembang

Menjumpai anak sekolah dasar menghisap rokok, bukanlah pemandangan yang asing ditemui di daerah pedesaan di Indonesia.

Itu hanya satu gambaran kecil dari epidemi rokok dimana hampir 70 persen dari semua pria dan satu dari lima anak berusia antara 13 dan 15 tahun merokok, menurut data resmi pemerintah.

Indonesia memiliki salah satu tingkat merokok tertinggi di dunia dan industri tembakau yang terus berkembang disaat jumlah perokok di dunia justru menunjukan tren penurunan.

Walaupun usia minimum untuk merokok di Indonesia adalah 18 tahun namun pengawasan mengenai aturan itu tidaklah seragam di berbagai tempat, terutama di kawasan yang lebih kurang penduduknya.

Di berbagai daerah anak-anak dapat membeli sebatang rokok dari kios pinggir jalan hanya dengan beberapa ribu rupiah saja.

Kecanduan nasional masyarakat Indonesia terhadap tembakau tidak hanya didorong oleh ketersediaan dan keterjangkauannya, tetapi juga karena peran penting yang dimainkannya dalam perekonomian negara.

Jadi sementara merokok tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah di Indonesia,sejumlah analis mengatakan menindak industri ini adalah "pedang bermata dua".

Beban kesehatan akibat rokok

 

Mohammed Faisal, direktur eksekutif lembaga pemikir Center Reformasi Ekonomi Indonesia, mengatakan kepada ABC tembakau secara historis menjadi salah satu industri nasional terbesar di Indonesia, dengan rokok kretek sudah lama dilihat sebagiai bagiajn dairi budaya Indonesia.

Kementerian Perindustrian mencatat pada tahun 2018 kemarin, cukai rokok memberikan kontribusi Rp 153 triliun, hampir 96 persen dari total cukai nasional, atau setara dengan 10 persen dari total pendapatan pemerintah.

 

"Ada konglomerat tembakau yang sangat kaya yang memiliki kemampuan mempengaruhi sistem politik, terutama di daerah yang bergantung pada industri ini," katanya.

Namun, pendapatan yang dihasilkan dari cukai rokok ini sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan besarnya biaya krisis kesehatan warga yang disebabkan oleh perilaku merokok.

Menurut Kementerian Kesehatan, kerugian nasional akibat konsumsi rokok pada 2015 mencapai hampir Rp 600 triliun atau empat kali lebih banyak dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama,.

Akan tetapi, Faisal mengatakan bahwa keruntuhan industri ini akan memiliki konsekuensi yang merusak dan dampak yang besar pada banyak lapisan masyarakat Indonesia.

"Ini pedang bermata dua ... meskipun biaya [kesehatan masyarakat] yang besar, itu adalah kontributor besar bagi pendapatan nasional melalui pajak," katanya.

Penumpasan rokok elektronik

 

Pemerintah Indonesia telah mengambil pendekatan berbeda terhadap rokok elektronik, yang lebih dikenal dengan e-rokok atau vape, dengan menerapkan pajak 57 persen lebih tinggi untuk tembakau cair.

Vaping telah menjadi alternatif populer bagi warga muda Indonesia, dengan kafe-kafe vaping bermunculan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Denpasar dan Bandung.

Kantor Bea dan Cukai Indonesia memperkirakan ada 300 pembuat cairan di Indonesia, yang memproduksi berbagai produk cairan untuk rokok elektronik ke lebih dari 4.000 toko vape dan 900.000 perokok.

Walau jumlah ini tiap tahun terus meningkat, jumlanya masih kalah jauh dari sekitar 60 juta perokok biasa di negara ini.

Beberapa kalangan mempertanyakan mengapa industri rokok tidak menerima perlakuan yang sama.

Abdillah Ahsan, pakar ekonomi dan politik tembakau dari Universitas Indonesia, mengatakan kepada ABC bahwa kenaikan pajak rokok telah menjadi masalah yang diperdebatkan di negara ini karena biaya ekonomi, budaya dan politik.

"Siklus politik Indonesia membuat sulit untuk melihat dampak jangka panjang dan biaya ekonomi rokok, sebaliknya memprioritaskan keuntungan ekonomi tahunan," kata Ahsan.

Singkatnya, pendapatan Philip Morris Indonesia tahun lalu adalah Rp 107 triliun setara dengan total anggaran kesehatan negara, tambahnya.

'Disneyland industri tembakau'

 

Rokok juga merupakan penyumbang kemiskinan terbesar kedua, menurut angka yang dikeluarkan oleh Biro Statistik pada bulan Juli.

Namun Indonesia adalah satu dari delapan negara di dunia yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Tembakau, yang mencakup pembatasan pada perusahaan tembakau kelompok lobi dan penjualan kepada anak-anak.

Aturan yang masih sangat menguntungkan industri rokok ini membuat kelompok advokasi anti-rokok pernah menjuluki Indonesia sebagai "Disneyland industri tembakau ".

Indonesia juga satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih mengizinkan iklan tembakau langsung di televisi dengan hanya pembatasan larangan iklan radio dan televisi pada siang hari.

Generasi muda negara ini terpapar iklan rokok di toko, papan iklan, dan internet, serta melalui sponsor untuk konser musik, liga olahraga, dan acara.

Perusahaan tembakau terbesar di Indonesia, Sampoerna, yang dimiliki oleh Philip Morris International, juga telah mengembangkan jalur pendidikannya sendiri untuk mendukung sekolah-sekolah yang kurang mampu dan menyediakan upaya bantuan bencana.

Sementara Djarum, perusahaan tembakau terbesar ketiga, mensponsori liga bulutangkis nasional dan telah mendirikan akademi pelatihan olahraga untuk kaum muda.

 

Namun Dr Ahsan mengatakan upaya ini adalah "kamuflase".

"Banyak orang Indonesia datang dari latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan karenanya mudah dipengaruhi oleh 'permen manis' yang ditawarkan perusahaan tembakau kepada mereka," kata Dr Ahsan.

"Tembakau besar memberikan bantuan keuangan tetapi itu semua hanya kamuflase ... sumbangan harus dibayar kembali dengan kesehatan dan kehidupan mereka."

Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris dihsini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement