Ketika ditanya setelah bertemu pelajar keturunan Yahudi, seorang remaja putri beragama Islam, Ekteena memberikan jawaban yang sederhana.
"Kami sama-sama suka anjing daripada kucing, kami senang pergi sekolah, kami lebih suka musim dingin dibanding musim panas, karena kami bisa tidur-tiduran dengan selimut tebal." kata Ekteena kepada ABC.
"Banyak hal yang sama diantara kami."
Tanpa disadarinya, Ekteena sudah menyampaikan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh dua museum nasional Islam dan Yahudi di Australia.
Kedua museum yang sama-sama berlokasi di Melbourne tersebut membuat sebuah program bernama 'Museum Together', yang ingin menunjukkan kepada dunia komunitas Islam dan Yahudi lebih banyak memiliki kesamaan dibandingkan perbedaan.
Lewat program ini, murid dari dua sekolah yaitu King David School, sebuah sekolah Yahudi, dan Sirius College, yang mayoritas muridnya adalah Muslim saling bertemu untuk mengenal budaya dan agama satu sama lain.
Mereka juga kemudian dilatih untuk menjadi pemandu di masing-masing museum yang sesuai dengan agama mereka.
Cayleigh Abel dari Museum Yahudi Australia mengatakan masing-masing murid mendapatkan 'pengalaman di sinagog' dan 'pengalaman di mesjid'.
Dan ia melihatnya sebagai bagian dari proses belajar yang penting.
"Jelas sekali semakin perlunya kita mengajarkan siswa di usia sedini mungkin agar mereka bergaul dengan orang yang berbeda dari mereka, berusaha membuka diri." kata Abel.
"Ini sebenarnya mengajarkan anak-anak untuk terlibat, berani bertanya, dan juga mau mendengarkan."
Sherene Hassan, direktur pendidikan di Museum Islam Australia juga setuju jika pelajaran mengenai kehidupan multibudaya semakin dibutuhkan sekarang ini.
"Kita hidup dalam suasana ketakutan, dan banyak kesalahpahaman, satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah saling mengenal satu sama lain, membangun persahabatan." kata Hassan.
"Ini jauh lebih penting dari pada hanya belajar agama dari buku pelajaran."
"Kita sama namun kita juga berbeda"
Dalam program Museums Together ini, para siswa belajar bahasa Ibrani (Hebrew) dan bahasa Arab, termasuk membaca abjad, menulis nama mereka sendiri, dan juga bermain dengan papan gambar sambil belajar sejarah kedua agama.
"Kami berinteraksi dengan sekolah lain, belajar mengenai budaya lain, sehingga kami tidak hanya menduga-duga tentang mereka.' kata Hannah, murid dari King David.
Dengan lebih banyak mengetahui agama siswa yang lain, maka akan semakin terbentuk pula rasa saling pengertian.
Cayleigh Abel dari Museum Yahudi Australia mengatakan 'kesamaan' yang ada antar agama-agama di dunia adalah hal yang ingin mereka tekankan.
Namun dia mengatakan saling mengerti perbedaan juga merupakan hal yang penting.
"Adalah hal yang sudah lama dipahami bahwa kita sama, namun sebenarnya kita juga memiliki perbedaan."
"Dan berbeda juga bukan jadi masalah, dan pandangan anda yang berbeda itu sama benarnya dengan pendapat saya yang lain." katanya.
"Jadi memiliki kesamaan merupakan hal yang bagus, namun kami juga mendorong siswwa untuk menerima kenyataan bahwa kita juga memiliki perbedaan dan itu hal yang wajar."
Ekteena, murid dari sekolah Islam Sirius College berharap program seperti ini terus dilanjutkan.
"Pada akhir program ini, saya berharap kita bisa bersama-sama, tidak saling menduga dan saling percaya satu sama lain." katanya.
"Saya senang murid Yaudi belajar mengenai budaya Islam, dan saya juga senang belajar budaya mereka."
Seperti halnya Ekteena, salah seorang murid sekolah Yahudi King David School, Gabriel yang berada di Kelas 6 sudah merasa mendapat manfaat dari program tersebut.
"Kita semua manusia, dan kita semua sama. Bila saja semua kita memahami ini semua, dunia akan lebih baik." katanya.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini